“Miaaaaa……”
terdengar teriakkan dari kejauhan. Kupalingkan wajahku ke arah sumber teriakkan
yang mengganggu itu, ah dari ujung lorong ternyata. Sedetik kemudian kembali
kubenamkan wajahku di antara tumpukkan huruf-huruf yang sedari tadi sangat
menarik perhatianku. Tak kuhiraukan lagi teriakan-teriakan yang semakin lama
semakin terdengar sangat jelas memanggil namaku. Hingga akhirnya suara itu
terdengar tepat di gendang telingaku.
“Miaaa lo
apa-apaan sih pura-pura budek gitu, nggak lucu. Lo nggak tau apa, daritadi,
dari depan pagar sana, dari ujung lorong sana, gue uda neriakin nama lo
berulang-ulang, dan gue yakin lo uda ngedenger gue, tapi napa nggak nyamperin
sih?” cerocos laki-laki itu tak berhenti. Nafasnya terdengar tak teratur,
saling memburu. Dan kucuran keringat terlihat jelas di dahinya.
“Lo yang nggak
lucu. Pagi-pagi gini uda teriak-teriak gitu bikin heboh. Gue tahu suara lo
bagus, tapi nggak gitu juga kali buat pamerin ke satu sekolahan.” Jawabku
sambil tetap berkutik dengan buku yang aku pegang.
“Kalo itu sih
tanpa gue pamerin, jangankan sesekolahan, sedunia juga uda tau kali kalo suara
gue bagus hahahaha..” tawanya membahana. “Gue pengen ngomong ke lo, sesuatu.
Dan ini penting untuk gue. Untuk hidup gue. Untuk masa depan gue. Pokonya
penting. Dan gue pengen liat reaksi lo.” Lanjut lelaki itu lagi sambil mengusap
wajahnya menggunakan sapu tangannya.
“Gue sih yakin banget itu nggak penting. Tapi
yaudalah, karena lo uda gue anggap sahabat, nggak tau juga kenapa gue
mau-maunya sahabatan sama lo, gue bakal dengerin. Hm, apaan?” aku meliriknya
sebentar..
“Lo tau kan gue
uda lama suka sama cewek, nah sekarang gue uda yakin banget sama apa yang gue
rasa. Jadi yah, gue pengen nembak itu cewek ntar siang..”
Deg. Sepedetik kurasakan jantungku berhenti berdetak. Lalu ketika kembali berdetak, jantung itu berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Apa maksudnya ini, dia bakal nembak aku? Eh, kok aku jadi kepedean? Emang iya aku? Aku rasa sih ia, memangnya sama cewek mana lagi dia dekat selain sama aku? Tapi masa iya?
“Mia, lo denger
nggak sih?” dia membuyarkan lamunanku.
“Iya, gue denger
kok. Siapa emang?”
“Lo pasti nggak
percaya. Bian.”
Deg. Kurasakan
jantungku kembali berhenti berdetak. Lebih lama. Darahku berdesir. “Bian?
Bianca?” ulangku tak percaya.
“Iya Bianca. Dia
cantik, juga baik. Tapi yang pasti, gue jatuh cinta ama dia.” Laki-laki itu
tersenyum. Dia lebih terlihat berbicara pada dirinya sendiri. Aku yakin
sekarang dia sedang membayangkan perempuan itu, perempuan yang dicintai
olehnya, perempuan yang menurutku sangat
beruntung itu, perempuan yang sangat jelas bukan bernama Mia, tetapi Bian,
Bianca.
“Oh.” Sahutku
datar. Aku sama sekali tak berniat untuk bertanya lebih jauh lagi. Bertanya
‘kok bisa dia? Kapan dekatnya? Kenapa bukan aku?’ Karena aku yakin
jawaban-jawabannya akan semakin menyakitiku.
Seketika hening.
Laki-laki itu masih terlihat asik dengan lamunannya. Dan aku, aku kembali
menyibukkan diri dengan buku ini walau aku sama sekali tidak berminat untuk
membacanya lagi.
Kita berdua
sibuk dengan pikiran masing-masing. Dia tentu saja memikirkan wanitanya,
Bianca. Aku, pikiranku berantakan. Aku memikirkan tentang persahabatan kami,
persahabatan yang sudah bertahun-tahun aku khianati karena begitu saja
mencintai sahabatku dengan perasaan lebih dari sahabat. Mengutuk diriku sendiri
yang terlalu pengecut karena tak pernah berani mengungkapkannya. Lalu kembali
merangkaikan setiap keping bayangannya di benakku. Laki-laki yang biasa kusapa
Liam.
***
Malam itu, di
taman itu, Liam sedang duduk menunggu. Terlihat jelas dia mulai mulai merasa
bosan, tampak dari seringnya dia melihat kearah jamnya yang sekarang sudah
menunjukkan pukul 9 malam, lewat satu jam dari waktu yang dijanjikan. Berulang
kali dia juga memandang kearah ujung taman, masih terus berharap gadis itu akan
datang. Satu persatu lilin – lilin yang sedari tadi sudah dinyalakannya mulai
dari ujung taman itu padam. Makanan di
hadapannya pun sudah terlihat tidak seenak awal pertama makanan itu disajikan.
Tetapi Liam
terus menunggu. Terlihat dia mengutak-atik handphonenya, berusaha menghubungi
perempuan itu, tapi tak ada kabar. Beberapa kali dia beranjak dari tempat
duduknya lalu melangkah mondar-mandir. Keyakinan bahwa gadis itu memang tidak
akan datang tidak menggugah hatinya untuk berhenti menunggu. Detik berganti
menit, lalu perlahan berlalu menuju jam. Masih tak terdengar kabar dari
perempuan itu. Hingga beberapa menit kemudian, ponselnya berbunyi, sontak si
pemiliknya seketika langsung mengecek. Ah ternyata sebuah pesan singkat.
From : Bianca
Sorry Liam. Gue nggak bisa kesana. Gue
juga lupa kalo ada
acara kelurga malam ini, jadi gue
langsung iyain aja pas lo
ngajak ketemuan. Sorry banget ya.
Liam menghembuskan nafas kecewanya.
Dengan langkah gontai dia beranjak meninggalkan taman itu. Meninggalkan seikat
mawar merah yang sedari tadi dipersiapkannya. Meninggalkan lilin-lilin kecil
yang kebanyakan mulai padam akibat hembusan angin malam. Meninggalkan sejuta
harapannya untuk melabelkan Bianca menjadi miliknya malam ini.
Rambut
yang awalnya tertata rapi dengan gel, terlihat acak-acakan. Kemeja kotak-kotak
barunya, terlihat lusuh dan berantakan. Liam menaiki motornya, lalu melajukannya
dengan kecepatan tinggi menembus malam yang kian semakin larut.
***
Sudah
beberapa hari ini aku tidak melihat Liam. Mungkin dia masih asik dengan
perburuannya mengejar perempuan itu. Awalnya aku berpikir ini kesempatan yang
baik. Dengan terus tidak melihatnya, aku mungkin saja akan cepat melupakan
perasaanku terhadapnya. Ternyata aku salah besar. Aku sedikit merindukannya.
Pikiran-pikiran akan kehilangannya pun semakin menggerogotiku. Memang tak
pernah mudah untuk mengabaikan perasaan ini. Memang tak pernah mudah untuk
melupakannya, disaat senyum dan renyah tawanya masih terus menenangkan. Disaat
kehadirannya masih terasa menghangatkan.
Tetapi
ada sedikit perasaan lega yang berhembus ketika aku tahu bahwa Liam dan Bianca
belum jadian. Aku tahu, sebagai
sahabatnya, sangatlah bersalah ketika aku malah merasa bahagia disaat dia malah
sedang kecewa. Tetapi apakah ada yang salah jika aku sedikit berharap Liam
tidak akan jadian dengan Bianca? Saat ini, aku memposisikan diriku sebagai
pengagum rahasianya, bukan sahabatnya.
***
“Bian,
gue suka sama lo. Gue sayang sama lo. Gue cinta sama lo. Lo mau jadi cewe gue?”
tembak Liam langsung malam itu, ketika dia dan Bian sedang asik menikmati makan
malam mereka ditemani lantunan musik pop-mellow disebuah café sederhana di kota
itu.
“Waa,
itu bener-bener pernyataan yang mengejutkan. Gue tersanjung mendengarnya. Tapi
Liam, maaf gue sama sekali nggak bisa. Gue bener-bener minta maaf.” Jawab
Bianca perlahan sambil kemudian tersenyum ragu-ragu.
“Kenapa?
Kenapa lo nggak bisa? Jelas-jelas lo nggak punya pacar. Terus apa yang salah
dari gue?” Tanya Liam terkejut. Dia sama
sekali tidak pernah berharap mendapatkan jawaban seperti itu.
“Gue
memang belum punya pacar. Dan letak masalahnya juga bukan di elo. Tapi di gue.
Gue nggak yakin sama perasaan gue ke elo. Gue hanya nganggap lo temen. Hanya
temen.” \
“Bian,
please. Gue bener-bener sayang sama lo. Kita coba aja dulu. Gue yakin kok,
kedepannya gue bakal bisa bikin lo jadi beneran suka sama gue.”
“Nggak,
gue emang nggak bisa. Gue nggak mau ntar semuanya malah sia-sia”
“Nggak
bakal ada yang sia-sia kok kalo lo mau nyoba, please?” Liam terdengar mulai
frustasi.
“Jangan
paksa gue Liam. Gue nggak bisa. Kita berteman aja ya.” Bianca kembali
tersenyum.
“Atau
beri gue kesempatan untuk buktiin ke elo kalau gue beneran serius, gue bakal
berusaha. Yah, beri gue kesempatan.”
“Gue
nggak mau kasih lo harapan palsu Liam. Ntar lo sendiri yang bakal ngerasa
sakit.”
“Bian………..”
“Uda
ya, kita jangan bahas ini lagi. Kita lebih cocok berteman kok.”
Bian
tersenyum meyakinkan. Liam menanggapinya dengan kecut. Setelahnya, tak ada
percakapan berarti lagi di antara keduanya.
***
Keesokan
harinya, Liam sengaja datang lebih cepat kesekolah. Dia terlihat merencanakan
sesuatu. Dan betul saja, ketika Bianca memasuki kelasnya, dia menemukan Liam
yang sedang duduk di bangkunya sambil memegang setangkai mawar merah
ditangannya.
“Bian, gue nggak
secepat itu menyerah. Jadi, lo mau kan nerima gue?” Liam tersenyum yakin, lalu
menyerahkan mawarnya kepada Bianca.
“Maaf
Liam, jawaban gue masih sama. Um, gue mesti keluar sekarang, temen-temen gue
uda nunggu. Btw, makasih untuk mawarnya.”
Liam
tersenyum gusar memandangi punggung Bianca yang seketika menghilang dibalik
tembok kelasnya.
Keesokan
harinya lagi, siang itu. Dikantin.
“Bakso
buat gue? Dari siapa?” Bianca heran. Belum sempat dia bertanya, si abang tukang
bakso sudah berlalu pergi. Tak lama kemudian, hpnya berbunyi.
“Iya,
Liam?” Bianca menjawab teleponnya.
“Bakso
itu gue kasih ke elo dengan sepenuh hati. Gue harap lo terima ya, baksonya.
Terima gue juga hehehehe..” gelak Liam malu-malu.
“Aduh
Liam, baksonya gue terima, gue juga lapar soalnya hehehe. Tapi, jawaban gue
untuk lo masih sama. Maaf ya. Bye, gue mau makan dulu. Eh, makasih baksonya.”
Bianca memutuskan percakapan.
‘Huh,
ini yang uda ketiga kali. Dan gue belum menyerah Bian.’ Bisik Liam dalam
hatinya..
Hari-hari berikutnya, ketika Bianca sedang asik-asiknya
bercengkrama dengan teman-temannya, ada yang menarik tangannya menjauh..
“Gue
mau ngomong” Liam menatap Bian dalam-dalam.
“Elo
lagi, aduh Liam, pasti lo mau nanya pertanyaan yang sama. Jujur gue bosen, tau
nggak. Lo berhenti aja deh nanyanya tiap hari, karena jawaban gue akan tetap
sama Liam. Nggak berubah.” Terdengar sedikit nada marah dari suara Bianca.
“Kasih
gue kesempatan, baru gue berhenti bertanya.”
“Liam,
sekarang giliran gue yang memohon sama lo. Uda cukup. Ini uda yang kebelasan
kalinya lo minta kesempatan, tapi memang nggak bakal pernah ada kesempatan dari
gue Liam. Perasaan gue ke elo mentok sebagai teman. Tolong mengerti. Gue hargai
banget perasaan lo. Tapi lo juga harus ngertiin gue. Gue capek.” Tanpa basa
basi Bianca langsung berbalik dan kembali kearah teman-temannya.
***
Kejadian
seperti ini terus saja berlangsung. Dan sudah ada sekitar 21 kali Liam
menyatakan perasaannya yang kemudian langsung ditolak oleh Bianca. Rasa-rasanya
tak pernah ada tercetus kata menyerah dari Liam untuk mengejar Bianca.
“Lo
masih ditolak? Udalah, berhenti. Lo nggak perlu ngemis-ngemis cinta gitu lagi.
Apalagi dari cewe yang memang uda nolak lo. Ayolah, move on.” Terdengar suara
Mia menghibur Liam.
“Tapi
nggak semudah itu ngelupain dia Mia. Gue sayang sama dia. Gue harus dapatin
dia.” Jawab Liam yakin, tetapi lebih terdengar seperti gaungan putus asa.
“Mencintai
dan obsesi memiliki beda tipis, Liam. Lo harus bener-bener bisa ngebedainnya.
Seperti yang dia bilang, sampai kapanpun dia nggak bakal pernah nerima lo kan?
Yauda berhenti.” Mia setengah berteriak kepada cowok yang masih dicintainya
itu, dia menatap laki-laki itu dengan tatapan kasihan.
“Gue
yakin dia bakal nerima gue. Gue bakal buktiin, sekali lagi. Setelahnya, gue
bakal berhenti. Gue janji sama lo. Tapi gue yakin sama feeling gue.”
“Terserah
lo deh, lo emang keras kepala kan, nggak pernah bisa dibilangin.” Mia melangkah
pergi.
***
Senin
pagi itu, setelah upacara berakhir, disaat seluruh siswa SMA berhamburan menuju
kelas masing-masing, terlihat Liam yang tiba-tiba saja berteriak ditengah
kerumunan, sehingga seluruh perhatian tertuju padanya, termasuk Bianca yang
berjalan tak jauh dari tempat itu, dan Mia yang sedang berdiri di dekatnya.
Semua mata memandang aneh kearahnya. Sedetik kemudian Liam mulai bernyanyi.
Suaranya yang memang merdu semakin menarik perhatian seisi sekolah. Dia
bernyanyi dan terus bernyanyi hingga 1 lagu penuh nyanyian itu selesai dia
kumandangkan. Tak lupa setelahnya dia kembali menyatakan perasaannya untuk
Bianca, di depan semua orang.
Seluruh
perhatian sekarang beralih ke arah Bianca. Menunggu jawaban gadis itu. Dan
tiba-tiba saja sepotong kalimat mengejutkan terucap dari bibir gadis itu, “Oke,
lo gue terima..”
Riuh
tepuk tangan seisi sekolah membahana, tetapi tetap tak bisa menyembunyikan
perasaan bahagia yang melingkupi Liam pagi itu. Dia berteriak kegirangan. Liam
seketika langsung memeluk Mia yang masih berdiri mematung di sebelahnya. Dia
sama sekali tak menyadari perubahan pada wajah Mia, ya memang tak ada yang
menyadarinya. Bahkan ketika tetes-tetesan air mata mulai mengalir di wajahnya,
Liam tetap tidak menyadarinya. Liam masih terus saja memeluknya, memeluknya
dengan erat, saking bahagianya.
***
Ini
kencan pertama Liam dan Bianca setelah mereka resmi pacaran tadi pagi. Bian
menghampiri Liam yang sudah terlebih dulu tiba di taman itu dengan senyuman
paksa.
“Akhirnya
gue ngedapetin lo juga bukan. Gue emang
selalu percaya dengan kerja keras. Lihat, setelah 22 kali nyoba nembak lo,
akhirnya lo nerima gue. Akhirnya hati lo terbuka buat gue. Makasih, gue sayang
banget ama lo.” Tak henti-hentinya senyuman terbentang di wajah tampannya.
“Yah,
lo uda bekerja keras.” Jawab Bianca acuh tak acuh.
Malam
itupun mereka lewatin sambil makan jagung bakar. Liam tidak berhenti-hentinya
mencoba mencairkan suasana, terus berusaha membuat Bianca nyaman berada di
dekatnya. Tapi sayang, tak terlihat tanggapan positif dari Bianca. Bianca masih
saja bersikap dingin, seolah tak peduli.
“Makasih
untuk hari ini. Gue bener-bener senang. Gue harap lo juga.” Ucap Liam lembut
ketika dia mengantarkan Bianca kembali kerumahnya.
“Sama-sama.
Gue senang dengar lo senang. Tapi maaf, gue sama sekali nggak senang dengan
hubungan ini. Gue merasa aneh.” Jawab Bianca, sedikit ketus.
“Maksud
lo apa? Aneh kenapa? Gue yang aneh? Gue janji bakal berusaha benahin diri.”
“Bukan,
bukan lo yang aneh. Tapi hubungan ini. Perasaan gue ke elo nggak pernah berubah
Liam, masih sama kayak pertama kali lo nanyainnya.” Bianca berusaha
memperlembut suaranya.
“Tetapi
kenapa lo nerima gue? Itu berarti hati lo perlahan mulai terbuka kan untuk
gue?” nada suara Liam mulai terdengar frustasi lagi.
“Nggak
Liam. Maafin gue. Tadi gue terpaksa nerima lo, gue hanya nggak mau bikin lo
malu di depan anak-anak karena kebodohan lo nembak gue di kerumunan. Maafin
gue. Gue juga nggak mau nyakitin lo lebih jauh, makanya semuanya harus kita
akhirin.” Bianca tersenyum meyakinkan.
“Please,
gue.. gue bisa buktiin ke elo kalo gue layak jadi cowok lo.”
“Masalahnya
bukan terletak disitu Liam, tapi dihati gue. Gue emang nggak pernah bisa
numbuhin perasaan suka ke elo. Lo tetep gue anggap sebatas temen. Uda itu aja.
Maafin gue. Tolong jangan bertingkah bodoh dengan nembak-nembak gue lagi. Ini
yang terakhir. Sekali lagi, maafin gue.” Bianca langsung melangkah memasuki
rumahnya.
Liam
hanya terdiam. Terdiam menatap Bianca yang berlalu begitu saja. Dia tidak tahu
bagaimana perasaannya sekarang. Dia memang kecewa dengan keputusan Bianca,
tetapi hanya sebatas kecewa. Dai tidak merasa patah hati atau semacamnya.
Apakah memang hanya perasaan kecewa sajakah yang muncul ketika ditolak cewek
untuk yang ke-22 kalinya? Mungkin Mia benar, mencintai dan obsesi memiliki
memang tak berbeda jauh. Ah ya, Bianca, sedang apa anak itu sekarang?
***
Lantunan
lagu What Makes You Beautiful milik One Direction terdengar dari hp Mia. ‘huh,
siapa juga orang kurang kerjaan yang menggangguku tengah malam ini’ gerutunya
dalam hati.
Sesaat
dia merasa ragu, setelah melihat nama Liam lah yang tertera di layar ponsel
tersebut. ‘dia pasti akan bercerita panjang lebar tentang kencan pertamanya
malam ini, dan aku sama sekali belum siap mendengarnya’ pikirnya lagi. Namun
lagu WMYB tidak juga berhenti terdengar dari ponsel itu. ‘oke, baiklah Mr.
Payne, saya siap mendengar ocehanmu.’ serunya lagi sambil kemudian mengusap air
matanya..
“Hmmm..”
jawab Mia serak.
“Mia,
lo bener.” sahut Liam dari seberang.
“Bener
apaan? Emang sejak kapan gue salah? hehehe”
“Yang
gue rasa emang nggak lebih dari obsesi, Mi, bukan cinta..”
“Kok
lo ngomong gitu? Kemaren gue hanya berasumsi asal-asalan doang lho. Uda jangan
terlalu dipikirin. Btw, gimana kencan lo?” tanya Mia yang kemudian disusul oleh
perasaan menyesal, apa dia sanggup dengerin ceritanya Liam?
“Lumayan
sukses. Itu kencan pertama dan terakhir gue. Gue diputusin Mia..” Liam tertawa
kecut..
“Putus..masa?”
Mia setengah menjerit. Rona bahagia seketika mengalir lewat aliran darahnya.
“Iya
putus, berakhir, selesai. Dia memang nggak pernah bisa mencintai gue Mia. Gue
aja yang terus-terusan ngehindar dari kenyataan itu.” Jelas Liam.
“Baiklah,
tapi lo nggak kenapa-napa kan? Gue ngedenger nada frustasi dari suara lo. Lo
nggak masud macam-macam kan?” cerocos
Mia lagi.
“Nggak
kok, gue uda cukup puas dengan nyoba 22 kali, gue juga uda puas akhirnya
diterima ama dia. Yah walaupun gue nggak bisa sembunyiin perasaan kecewa gue
yang gitu aja dia putusin. Tapi nggak apa-apalah, kan masih ada lo hehehe..” Liam
tertawa menggoda.
“Eh
gue? Kok gue? Lo mau jadiin gue pelarian ya? Wah parah lo.” Protes Mia sambil
menahan tawanya.
“Hahaha
bercanda. Lo kan sahabat gue, jadi nggak mungkin juga lo jadi pelarian gue..”
“Ah
ya, kita emang sahabat. Selamanya ya kan? Hahahaha” giliran Mia yang tertawa
kecut. “Yauda gue mau tidur uda ngantuk. Lo juga tidur, jangan mikirin yg
macam-macam lagi, selamat malam sahabat..”
“Malam
sayang hehehe..” sambungan telepon terputus.
Deg.
Jantung Mia berkontraksi lagi. Astaga hanya dengan sebutan sayang, yang aku
sangat yakin pun hanya sebatas bercanda aja, jantungku berdetak tidak karuan
lagi. Padahal jelas-jelas dia hanya menganggap aku sahabat.
Ah,
aku semakin takut berharap. Aku mulai lelah menunggu. Aku memang sedang
menyembunyikan diriku dari kenyataan, kenyataan bahwa selamanya dia hanya
menganggapku sebagai seorang sahabat. Aku saja yang terus-terusan menutup
mataku dari kenyataan dia memang takkan mungkin mencintaiku juga. Seperti aku
mencintainya sebagai sahabat, bahkan lebih dari sahabat.
0 komentar:
Posting Komentar