Kamis, 25 Oktober 2012

Selamanya Kan? Sahabat. (Liam Love Story)


“Miaaaaa……” terdengar teriakkan dari kejauhan. Kupalingkan wajahku ke arah sumber teriakkan yang mengganggu itu, ah dari ujung lorong ternyata. Sedetik kemudian kembali kubenamkan wajahku di antara tumpukkan huruf-huruf yang sedari tadi sangat menarik perhatianku. Tak kuhiraukan lagi teriakan-teriakan yang semakin lama semakin terdengar sangat jelas memanggil namaku. Hingga akhirnya suara itu terdengar tepat di gendang telingaku.
“Miaaa lo apa-apaan sih pura-pura budek gitu, nggak lucu. Lo nggak tau apa, daritadi, dari depan pagar sana, dari ujung lorong sana, gue uda neriakin nama lo berulang-ulang, dan gue yakin lo uda ngedenger gue, tapi napa nggak nyamperin sih?” cerocos laki-laki itu tak berhenti. Nafasnya terdengar tak teratur, saling memburu. Dan kucuran keringat terlihat jelas di dahinya.
“Lo yang nggak lucu. Pagi-pagi gini uda teriak-teriak gitu bikin heboh. Gue tahu suara lo bagus, tapi nggak gitu juga kali buat pamerin ke satu sekolahan.” Jawabku sambil tetap berkutik dengan buku yang aku pegang.
“Kalo itu sih tanpa gue pamerin, jangankan sesekolahan, sedunia juga uda tau kali kalo suara gue bagus hahahaha..” tawanya membahana. “Gue pengen ngomong ke lo, sesuatu. Dan ini penting untuk gue. Untuk hidup gue. Untuk masa depan gue. Pokonya penting. Dan gue pengen liat reaksi lo.” Lanjut lelaki itu lagi sambil mengusap wajahnya menggunakan sapu tangannya.
 “Gue sih yakin banget itu nggak penting. Tapi yaudalah, karena lo uda gue anggap sahabat, nggak tau juga kenapa gue mau-maunya sahabatan sama lo, gue bakal dengerin. Hm, apaan?” aku meliriknya sebentar..
“Lo tau kan gue uda lama suka sama cewek, nah sekarang gue uda yakin banget sama apa yang gue rasa. Jadi yah, gue pengen nembak itu cewek ntar siang..”

Deg. Sepedetik kurasakan jantungku berhenti berdetak. Lalu ketika kembali berdetak, jantung itu berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Apa maksudnya ini, dia bakal nembak aku? Eh, kok aku jadi kepedean? Emang iya aku? Aku rasa sih ia, memangnya sama cewek mana lagi dia dekat selain sama aku? Tapi masa iya?
“Mia, lo denger nggak sih?” dia membuyarkan lamunanku.
“Iya, gue denger kok. Siapa emang?”
“Lo pasti nggak percaya. Bian.”
Deg. Kurasakan jantungku kembali berhenti berdetak. Lebih lama. Darahku berdesir. “Bian? Bianca?” ulangku tak percaya.
“Iya Bianca. Dia cantik, juga baik. Tapi yang pasti, gue jatuh cinta ama dia.” Laki-laki itu tersenyum. Dia lebih terlihat berbicara pada dirinya sendiri. Aku yakin sekarang dia sedang membayangkan perempuan itu, perempuan yang dicintai olehnya,  perempuan yang menurutku sangat beruntung itu, perempuan yang sangat jelas bukan bernama Mia, tetapi Bian, Bianca.
“Oh.” Sahutku datar. Aku sama sekali tak berniat untuk bertanya lebih jauh lagi. Bertanya ‘kok bisa dia? Kapan dekatnya? Kenapa bukan aku?’ Karena aku yakin jawaban-jawabannya akan semakin menyakitiku.
Seketika hening. Laki-laki itu masih terlihat asik dengan lamunannya. Dan aku, aku kembali menyibukkan diri dengan buku ini walau aku sama sekali tidak berminat untuk membacanya lagi.
Kita berdua sibuk dengan pikiran masing-masing. Dia tentu saja memikirkan wanitanya, Bianca. Aku, pikiranku berantakan. Aku memikirkan tentang persahabatan kami, persahabatan yang sudah bertahun-tahun aku khianati karena begitu saja mencintai sahabatku dengan perasaan lebih dari sahabat. Mengutuk diriku sendiri yang terlalu pengecut karena tak pernah berani mengungkapkannya. Lalu kembali merangkaikan setiap keping bayangannya di benakku. Laki-laki yang biasa kusapa Liam.


***

Malam itu, di taman itu, Liam sedang duduk menunggu. Terlihat jelas dia mulai mulai merasa bosan, tampak dari seringnya dia melihat kearah jamnya yang sekarang sudah menunjukkan pukul 9 malam, lewat satu jam dari waktu yang dijanjikan. Berulang kali dia juga memandang kearah ujung taman, masih terus berharap gadis itu akan datang. Satu persatu lilin – lilin yang sedari tadi sudah dinyalakannya mulai dari ujung taman itu padam.  Makanan di hadapannya pun sudah terlihat tidak seenak awal pertama makanan itu disajikan.
Tetapi Liam terus menunggu. Terlihat dia mengutak-atik handphonenya, berusaha menghubungi perempuan itu, tapi tak ada kabar. Beberapa kali dia beranjak dari tempat duduknya lalu melangkah mondar-mandir. Keyakinan bahwa gadis itu memang tidak akan datang tidak menggugah hatinya untuk berhenti menunggu. Detik berganti menit, lalu perlahan berlalu menuju jam. Masih tak terdengar kabar dari perempuan itu. Hingga beberapa menit kemudian, ponselnya berbunyi, sontak si pemiliknya seketika langsung mengecek. Ah ternyata sebuah pesan singkat.

From : Bianca

Sorry Liam. Gue nggak bisa kesana. Gue juga lupa kalo ada
acara kelurga malam ini, jadi gue langsung iyain aja pas lo
ngajak ketemuan. Sorry banget ya.

            Liam menghembuskan nafas kecewanya. Dengan langkah gontai dia beranjak meninggalkan taman itu. Meninggalkan seikat mawar merah yang sedari tadi dipersiapkannya. Meninggalkan lilin-lilin kecil yang kebanyakan mulai padam akibat hembusan angin malam. Meninggalkan sejuta harapannya untuk melabelkan Bianca menjadi miliknya malam ini.
            Rambut yang awalnya tertata rapi dengan gel, terlihat acak-acakan. Kemeja kotak-kotak barunya, terlihat lusuh dan berantakan. Liam menaiki motornya, lalu melajukannya dengan kecepatan tinggi menembus malam yang kian semakin larut.

***

            Sudah beberapa hari ini aku tidak melihat Liam. Mungkin dia masih asik dengan perburuannya mengejar perempuan itu. Awalnya aku berpikir ini kesempatan yang baik. Dengan terus tidak melihatnya, aku mungkin saja akan cepat melupakan perasaanku terhadapnya. Ternyata aku salah besar. Aku sedikit merindukannya. Pikiran-pikiran akan kehilangannya pun semakin menggerogotiku. Memang tak pernah mudah untuk mengabaikan perasaan ini. Memang tak pernah mudah untuk melupakannya, disaat senyum dan renyah tawanya masih terus menenangkan. Disaat kehadirannya masih terasa menghangatkan.
            Tetapi ada sedikit perasaan lega yang berhembus ketika aku tahu bahwa Liam dan Bianca belum jadian.  Aku tahu, sebagai sahabatnya, sangatlah bersalah ketika aku malah merasa bahagia disaat dia malah sedang kecewa. Tetapi apakah ada yang salah jika aku sedikit berharap Liam tidak akan jadian dengan Bianca? Saat ini, aku memposisikan diriku sebagai pengagum rahasianya, bukan sahabatnya.

***
            “Bian, gue suka sama lo. Gue sayang sama lo. Gue cinta sama lo. Lo mau jadi cewe gue?” tembak Liam langsung malam itu, ketika dia dan Bian sedang asik menikmati makan malam mereka ditemani lantunan musik pop-mellow disebuah café sederhana di kota itu.
            “Waa, itu bener-bener pernyataan yang mengejutkan. Gue tersanjung mendengarnya. Tapi Liam, maaf gue sama sekali nggak bisa. Gue bener-bener minta maaf.” Jawab Bianca perlahan sambil kemudian tersenyum ragu-ragu.
            “Kenapa? Kenapa lo nggak bisa? Jelas-jelas lo nggak punya pacar. Terus apa yang salah dari gue?”  Tanya Liam terkejut. Dia sama sekali tidak pernah berharap mendapatkan jawaban seperti itu.
            “Gue memang belum punya pacar. Dan letak masalahnya juga bukan di elo. Tapi di gue. Gue nggak yakin sama perasaan gue ke elo. Gue hanya nganggap lo temen. Hanya temen.” \
            “Bian, please. Gue bener-bener sayang sama lo. Kita coba aja dulu. Gue yakin kok, kedepannya gue bakal bisa bikin lo jadi beneran suka sama gue.”
            “Nggak, gue emang nggak bisa. Gue nggak mau ntar semuanya malah sia-sia”
            “Nggak bakal ada yang sia-sia kok kalo lo mau nyoba, please?” Liam terdengar mulai frustasi.
            “Jangan paksa gue Liam. Gue nggak bisa. Kita berteman aja ya.” Bianca kembali tersenyum.
            “Atau beri gue kesempatan untuk buktiin ke elo kalau gue beneran serius, gue bakal berusaha. Yah, beri gue kesempatan.”
            “Gue nggak mau kasih lo harapan palsu Liam. Ntar lo sendiri yang bakal ngerasa sakit.”
            “Bian………..”
            “Uda ya, kita jangan bahas ini lagi. Kita lebih cocok berteman kok.”
            Bian tersenyum meyakinkan. Liam menanggapinya dengan kecut. Setelahnya, tak ada percakapan berarti lagi di antara keduanya.

***
            Keesokan harinya, Liam sengaja datang lebih cepat kesekolah. Dia terlihat merencanakan sesuatu. Dan betul saja, ketika Bianca memasuki kelasnya, dia menemukan Liam yang sedang duduk di bangkunya sambil memegang setangkai mawar merah ditangannya.
“Bian, gue nggak secepat itu menyerah. Jadi, lo mau kan nerima gue?” Liam tersenyum yakin, lalu menyerahkan mawarnya kepada Bianca.
            “Maaf Liam, jawaban gue masih sama. Um, gue mesti keluar sekarang, temen-temen gue uda nunggu. Btw, makasih untuk mawarnya.”
            Liam tersenyum gusar memandangi punggung Bianca yang seketika menghilang dibalik tembok kelasnya.

            Keesokan harinya lagi, siang itu. Dikantin.
            “Bakso buat gue? Dari siapa?” Bianca heran. Belum sempat dia bertanya, si abang tukang bakso sudah berlalu pergi. Tak lama kemudian, hpnya berbunyi.
            “Iya, Liam?” Bianca menjawab teleponnya.
            “Bakso itu gue kasih ke elo dengan sepenuh hati. Gue harap lo terima ya, baksonya. Terima gue juga hehehehe..” gelak Liam malu-malu.
            “Aduh Liam, baksonya gue terima, gue juga lapar soalnya hehehe. Tapi, jawaban gue untuk lo masih sama. Maaf ya. Bye, gue mau makan dulu. Eh, makasih baksonya.” Bianca memutuskan percakapan.
            ‘Huh, ini yang uda ketiga kali. Dan gue belum menyerah Bian.’ Bisik Liam dalam hatinya..

            Hari-hari  berikutnya, ketika Bianca sedang asik-asiknya bercengkrama dengan teman-temannya, ada yang menarik tangannya menjauh..
            “Gue mau ngomong” Liam menatap Bian dalam-dalam.
            “Elo lagi, aduh Liam, pasti lo mau nanya pertanyaan yang sama. Jujur gue bosen, tau nggak. Lo berhenti aja deh nanyanya tiap hari, karena jawaban gue akan tetap sama Liam. Nggak berubah.” Terdengar sedikit nada marah dari suara Bianca.
            “Kasih gue kesempatan, baru gue berhenti bertanya.”
            “Liam, sekarang giliran gue yang memohon sama lo. Uda cukup. Ini uda yang kebelasan kalinya lo minta kesempatan, tapi memang nggak bakal pernah ada kesempatan dari gue Liam. Perasaan gue ke elo mentok sebagai teman. Tolong mengerti. Gue hargai banget perasaan lo. Tapi lo juga harus ngertiin gue. Gue capek.” Tanpa basa basi Bianca langsung berbalik dan kembali kearah teman-temannya.

***

            Kejadian seperti ini terus saja berlangsung. Dan sudah ada sekitar 21 kali Liam menyatakan perasaannya yang kemudian langsung ditolak oleh Bianca. Rasa-rasanya tak pernah ada tercetus kata menyerah dari Liam untuk mengejar Bianca.
            “Lo masih ditolak? Udalah, berhenti. Lo nggak perlu ngemis-ngemis cinta gitu lagi. Apalagi dari cewe yang memang uda nolak lo. Ayolah, move on.” Terdengar suara Mia menghibur Liam.
            “Tapi nggak semudah itu ngelupain dia Mia. Gue sayang sama dia. Gue harus dapatin dia.” Jawab Liam yakin, tetapi lebih terdengar seperti gaungan putus asa.
            “Mencintai dan obsesi memiliki beda tipis, Liam. Lo harus bener-bener bisa ngebedainnya. Seperti yang dia bilang, sampai kapanpun dia nggak bakal pernah nerima lo kan? Yauda berhenti.” Mia setengah berteriak kepada cowok yang masih dicintainya itu, dia menatap laki-laki itu dengan tatapan kasihan.
            “Gue yakin dia bakal nerima gue. Gue bakal buktiin, sekali lagi. Setelahnya, gue bakal berhenti. Gue janji sama lo. Tapi gue yakin sama feeling gue.”
            “Terserah lo deh, lo emang keras kepala kan, nggak pernah bisa dibilangin.” Mia melangkah pergi.

***

            Senin pagi itu, setelah upacara berakhir, disaat seluruh siswa SMA berhamburan menuju kelas masing-masing, terlihat Liam yang tiba-tiba saja berteriak ditengah kerumunan, sehingga seluruh perhatian tertuju padanya, termasuk Bianca yang berjalan tak jauh dari tempat itu, dan Mia yang sedang berdiri di dekatnya. Semua mata memandang aneh kearahnya. Sedetik kemudian Liam mulai bernyanyi. Suaranya yang memang merdu semakin menarik perhatian seisi sekolah. Dia bernyanyi dan terus bernyanyi hingga 1 lagu penuh nyanyian itu selesai dia kumandangkan. Tak lupa setelahnya dia kembali menyatakan perasaannya untuk Bianca, di depan semua orang.
            Seluruh perhatian sekarang beralih ke arah Bianca. Menunggu jawaban gadis itu. Dan tiba-tiba saja sepotong kalimat mengejutkan terucap dari bibir gadis itu, “Oke, lo gue terima..”
            Riuh tepuk tangan seisi sekolah membahana, tetapi tetap tak bisa menyembunyikan perasaan bahagia yang melingkupi Liam pagi itu. Dia berteriak kegirangan. Liam seketika langsung memeluk Mia yang masih berdiri mematung di sebelahnya. Dia sama sekali tak menyadari perubahan pada wajah Mia, ya memang tak ada yang menyadarinya. Bahkan ketika tetes-tetesan air mata mulai mengalir di wajahnya, Liam tetap tidak menyadarinya. Liam masih terus saja memeluknya, memeluknya dengan erat, saking bahagianya.

***

            Ini kencan pertama Liam dan Bianca setelah mereka resmi pacaran tadi pagi. Bian menghampiri Liam yang sudah terlebih dulu tiba di taman itu dengan senyuman paksa.
            “Akhirnya gue ngedapetin lo juga bukan. Gue  emang selalu percaya dengan kerja keras. Lihat, setelah 22 kali nyoba nembak lo, akhirnya lo nerima gue. Akhirnya hati lo terbuka buat gue. Makasih, gue sayang banget ama lo.” Tak henti-hentinya senyuman terbentang di wajah tampannya.
            “Yah, lo uda bekerja keras.” Jawab Bianca acuh tak acuh.
            Malam itupun mereka lewatin sambil makan jagung bakar. Liam tidak berhenti-hentinya mencoba mencairkan suasana, terus berusaha membuat Bianca nyaman berada di dekatnya. Tapi sayang, tak terlihat tanggapan positif dari Bianca. Bianca masih saja bersikap dingin, seolah tak peduli.
            “Makasih untuk hari ini. Gue bener-bener senang. Gue harap lo juga.” Ucap Liam lembut ketika dia mengantarkan Bianca kembali kerumahnya.
            “Sama-sama. Gue senang dengar lo senang. Tapi maaf, gue sama sekali nggak senang dengan hubungan ini. Gue merasa aneh.” Jawab Bianca, sedikit ketus.
            “Maksud lo apa? Aneh kenapa? Gue yang aneh? Gue janji bakal berusaha benahin diri.”
            “Bukan, bukan lo yang aneh. Tapi hubungan ini. Perasaan gue ke elo nggak pernah berubah Liam, masih sama kayak pertama kali lo nanyainnya.” Bianca berusaha memperlembut suaranya.
            “Tetapi kenapa lo nerima gue? Itu berarti hati lo perlahan mulai terbuka kan untuk gue?” nada suara Liam mulai terdengar frustasi lagi.
            “Nggak Liam. Maafin gue. Tadi gue terpaksa nerima lo, gue hanya nggak mau bikin lo malu di depan anak-anak karena kebodohan lo nembak gue di kerumunan. Maafin gue. Gue juga nggak mau nyakitin lo lebih jauh, makanya semuanya harus kita akhirin.” Bianca tersenyum meyakinkan.
            “Please, gue.. gue bisa buktiin ke elo kalo gue layak jadi cowok lo.”
            “Masalahnya bukan terletak disitu Liam, tapi dihati gue. Gue emang nggak pernah bisa numbuhin perasaan suka ke elo. Lo tetep gue anggap sebatas temen. Uda itu aja. Maafin gue. Tolong jangan bertingkah bodoh dengan nembak-nembak gue lagi. Ini yang terakhir. Sekali lagi, maafin gue.” Bianca langsung melangkah memasuki rumahnya.
            Liam hanya terdiam. Terdiam menatap Bianca yang berlalu begitu saja. Dia tidak tahu bagaimana perasaannya sekarang. Dia memang kecewa dengan keputusan Bianca, tetapi hanya sebatas kecewa. Dai tidak merasa patah hati atau semacamnya. Apakah memang hanya perasaan kecewa sajakah yang muncul ketika ditolak cewek untuk yang ke-22 kalinya? Mungkin Mia benar, mencintai dan obsesi memiliki memang tak berbeda jauh. Ah ya, Bianca, sedang apa anak itu sekarang?

***

            Lantunan lagu What Makes You Beautiful milik One Direction terdengar dari hp Mia. ‘huh, siapa juga orang kurang kerjaan yang menggangguku tengah malam ini’ gerutunya dalam hati.
            Sesaat dia merasa ragu, setelah melihat nama Liam lah yang tertera di layar ponsel tersebut. ‘dia pasti akan bercerita panjang lebar tentang kencan pertamanya malam ini, dan aku sama sekali belum siap mendengarnya’ pikirnya lagi. Namun lagu WMYB tidak juga berhenti terdengar dari ponsel itu. ‘oke, baiklah Mr. Payne, saya siap mendengar ocehanmu.’ serunya lagi sambil kemudian mengusap air matanya..
            “Hmmm..” jawab Mia serak.
            “Mia, lo bener.” sahut Liam dari seberang.
            “Bener apaan? Emang sejak kapan gue salah? hehehe”
            “Yang gue rasa emang nggak lebih dari obsesi, Mi, bukan cinta..”
            “Kok lo ngomong gitu? Kemaren gue hanya berasumsi asal-asalan doang lho. Uda jangan terlalu dipikirin. Btw, gimana kencan lo?” tanya Mia yang kemudian disusul oleh perasaan menyesal, apa dia sanggup dengerin ceritanya Liam?
            “Lumayan sukses. Itu kencan pertama dan terakhir gue. Gue diputusin Mia..” Liam tertawa kecut..
            “Putus..masa?” Mia setengah menjerit. Rona bahagia seketika mengalir lewat aliran darahnya.
            “Iya putus, berakhir, selesai. Dia memang nggak pernah bisa mencintai gue Mia. Gue aja yang terus-terusan ngehindar dari kenyataan itu.” Jelas Liam.
            “Baiklah, tapi lo nggak kenapa-napa kan? Gue ngedenger nada frustasi dari suara lo. Lo nggak masud macam-macam kan?”  cerocos Mia lagi.
            “Nggak kok, gue uda cukup puas dengan nyoba 22 kali, gue juga uda puas akhirnya diterima ama dia. Yah walaupun gue nggak bisa sembunyiin perasaan kecewa gue yang gitu aja dia putusin. Tapi nggak apa-apalah, kan masih ada lo hehehe..” Liam tertawa menggoda.
            “Eh gue? Kok gue? Lo mau jadiin gue pelarian ya? Wah parah lo.” Protes Mia sambil menahan tawanya.
            “Hahaha bercanda. Lo kan sahabat gue, jadi nggak mungkin juga lo jadi pelarian gue..”
            “Ah ya, kita emang sahabat. Selamanya ya kan? Hahahaha” giliran Mia yang tertawa kecut. “Yauda gue mau tidur uda ngantuk. Lo juga tidur, jangan mikirin yg macam-macam lagi, selamat malam sahabat..”
            “Malam sayang hehehe..” sambungan telepon terputus.
            Deg. Jantung Mia berkontraksi lagi. Astaga hanya dengan sebutan sayang, yang aku sangat yakin pun hanya sebatas bercanda aja, jantungku berdetak tidak karuan lagi. Padahal jelas-jelas dia hanya menganggap aku sahabat.
            Ah, aku semakin takut berharap. Aku mulai lelah menunggu. Aku memang sedang menyembunyikan diriku dari kenyataan, kenyataan bahwa selamanya dia hanya menganggapku sebagai seorang sahabat. Aku saja yang terus-terusan menutup mataku dari kenyataan dia memang takkan mungkin mencintaiku juga. Seperti aku mencintainya sebagai sahabat, bahkan lebih dari sahabat.

0 komentar:

Posting Komentar