Rabu, 17 Oktober 2012

Kita Hanya Sedang Jatuh Cinta. (Zayn Love Story)




Dia menatapku. Dia jelas-jelas menatapku. Ntah sudah keberapa kalinya aku coba melirik ke arahnya, dan pandangannya masih tertuju kepadaku. Siapa dia? Aku ingat sekali, aku sama sekali tidak mengenalnya.
Seketika kupalingkan wajahku sejenak, memandang deretan pohon cemara di ujung taman itu. Lalu ketika kucoba melirik ke arahnya, dia tidak ada lagi. Dia menghilang. Kemana dia? Aku mencoba mencari-cari, kusapukan pandanganku ke seluruh bagian taman ini, dan dia sudah tak terlihat. Seketika, perasaan kecewa menyelinap perlahan ke hatiku. Aku menghembuskan nafas sejenak, kembali kufokuskan pikiranku ke sebuah buku yang sedari tadi kugenggam. Buku itu mulai terlihat kusut, ternyata tanpa aku sadari sejak tadi buku itu hanya sebatas aku pegang dan bolak-balik saja, niatku untuk membacanya hingga selesai hilang begitu saja terbawa angin yang berhembus sepoi-sepoi di taman ini.
Aku masih saja terus membolak-balik lembaran-lembarannya, padahal sangat jelas pikiranku sudah tidak lagi tertumpu pada buku itu. Pikiranku dipenuhi oleh tatapan-tatapan lelaki tadi, penuh dengan sorot matanya yang tajam. Sedikit menakutkan memang ditatap seperti itu oleh seseorang yang bahkan sama sekali belum aku kenal, tetapi kenyataan bahwa tatapan itu berasal dari sepasang mata cokelat terang yang sangat indah, sedikit menepis ketakutan tadi.
Aku yang terlalu sibuk dengan lamunan-lamunan tak berartiku dikejutkan oleh sebuah suara berat yang ntah sedang menyebutkan kata apa. Tiba-tiba saja otak kecilku terlihat sangat sulit untuk mencernanya. Dengan nafas tertahan, kucoba memalingkan wajahku kea rah sumber suara, dan ternyata dia, si pemilik sorotan mata tajam tadi sekarang sedang berdiri tepat di hadapanku. Terpampang jelas dia sedang menatapku, bahkan dia tersenyum memperlihatkan rentetan gigi putihnya. YaTuhan, tiba-tiba saja aku menjadi sangat sulit untuk bernapas, aku butuh oksigen saat ini juga.  
Aku terus menatapnya. Mungkin cukup lama. Hingga tatapan hangat tadi berubah menjadi tatapan kebingungan. Dia kembali berbicara. Tetapi aku masih belum bisa mendengar suaranya. Kemudian dia menggerak-gerakkan tangannya tepat diwajahku, aku mengerjap, lalu kuhembuskan nafasku dengan sekali hentakan. Ah, terimakasih Tuhan, ternyata aku memang masih menginjakkan bumi.
“Hallo, lo baik-baik saja?” tanya perlahan, masih dengan tatapan kebingungan.
“Yah, iya iya..” hanya kata itu yang akhirnya bisa aku ucapkan.
“Ah ya, syukurlah.” Dia kembali tersenyum. Aku baru sadar, ternyata dia mempunyai sebuah tanda lahir kecil didekat bibirnya.
Aku hanya tersenyum malu-malu.
“Hm, maaf ya daritadi gue ngeliatin lo terus. Gue heran aja liat lo yang duduk di bawah nih pohon, trus asik sendiri sama buku yang lo pegang. Hehehe” sekarang dia tertawa. Dan beberapa kali dia terlihat sedang menggigit-gigit bagian bawah bibirnya. Aneh.
“Oh itu, nggak papa. Aku hanya lagi bosen aja dirumah, jadi kesini buat ngabisin waktu.”
Dia hanya manggut-manggut saja mendengar penjelasanku. Lalu dia tersenyum lagi. Apakah laki-laki yang satu ini memang sengaja terus-terusan memamerkan rentetan gigi putihnya? Apa dia sengaja membuatku seketika sulit bernafas ketika senyum itu kembali menghiasi wajah tampannya? Dia memang ingin membunuhku perlahan..
“Eh ya, aku punya ice cream yang aku beli di depan taman sana. Ini..” dia menyodorkan aku ice cream rasa vanilla.
“Kenapa vanilla? tanyaku heran.
“Karena yang cokelat buat gue” terdengar lagi gelak tawanya.
“Hahahaha alasan yang aneh. Btw, makasih.” aku ikut tertawa.
Sejenak, suasana menjadi hening. Dia terlihat sibuk dengan ice cream cokelat itu. Dan aku juga sibuk dengan ice cream vanillaku, tetapi lebih sibuk menenangkan hatiku yang sedari tadi berdebar sangat cepat.
“Nama lo siapa?” tanyanya memulai percakapan lagi.
“Christie. Christie Wilson.” Jawabku sembari menyodorkan tanganku.
“Gue Zayn. Zayn Javadd Malik.” Dia tersenyum lagi lalu menerima jabatan tanganku. Menurutku dia memang hobi tersenyum.
Perkenalan yang singkat. Saling menyapa, bertukar pandangan, saling melempar senyuman, lalu saling memperkenalkan nama. Aku rasa cukup untuk awal sebuah perkenalan, apalagi dia juga telah menraktirku ice cream. Dan sekarang kita berteman. Terkesan cepat bukan? Secepat saraf-saraf otakku merangkaikan setiap keping gambaran dirinya lalu menyimpannya dengan sangat baik di bagian khusus otakku. Secepat jantungku yang memompa darahnya dengan kecepatan maksimal, mengakibatkan darahku yang terus saja berdesir tak karuan. Secepat suhu tubuhku yang tiba-tiba saja berubah labil, panas-dingin, pipiku juga tak berhenti bersemu merah. Secepat hatiku menetapkan diri pada hatimu. Secepat aku jatuh cinta sama kamu. Sekiranya butuh tiga detik, setelah menghafalkan senyuman itu sebaik-baiknya. Mama, anak manjamu ini sedang jatuh cinta ternyata.

***
Hampir setiap hari kita membuat janji. Pukul setengah 5 sore di banjar ke 7 dari sebelah kiri, baris ke 4 dari depan, bgaian taman sebelah dalam, di rumah pohon kita. Tepatnya, rumah pohon sederhana yang kita bangunkan bersama beberapa waktu lalu.
Di atas sana, kita saling bercerita. Bercerita apa saja. Aku selalu tertarik mendengar cerita tentang dirimu. Tentang kamu yang merupakan keturunan Pakistan-Inggris, lahir tanggal 12 Januari 1993 di Bradford yang kemudian beberapa waktu kemudian pindah ke Indonesia. Tentang keluargamu yang hangat, ayah-ibumu yang harmonis, serta ketiga saudara perempuanmu yang menyenangkan. Kamu yang sebenarnya narsis tapi seringnya terlihat pemalu. Kamu dengan tinggi 178 cm, berhoroskop Capicorn. Kamu suka warna biru, suka banget makan ayam, dan suka parfum rasa vanilla. Kamu yang jago nyanyi, jago gambar sama jago main music triangle. Kamu yang tatoan tapi takut sama ketinggian. Kamu yang tidak bisa berenang dan nggak pandai menyetir mobil. Kamu dengan apa adanya kamu, aku suka.
Tak jarang kita juga saling tertawa, tetapi lebih ke saling menertawakan kebodohan masing-masing. Aku juga suka geli lihat kebiasaanmu yang suka melet-melet nggak jelas. Dan ketika aku mengejekmu, satu jitakan lembut mendarat di kepalaku. Yang kemudian disusul oleh gelak tawa kita lagi. Kamu memang tak pernah bisa membuat aku berhenti tertawa, ada saja tingkah anehmu yang membuatku kembali meringis menahan perutku yang sakit karena tak henti-henti tertawa. Sama seperti hatiku yang semakin hari, semakin mengagumimu.

***

Sudah hampir setahun kita saling mengenal dan menghabiskan waktu di rumah pohon kita. Tak jarang juga kita berjalan berdua ke toko buku, bioskop, sekedar mengatasi kebosanan yang sejenak hinggap ketika kita duduk diam tak tau mau ngapain di rumah pohon itu.
Aku terkadang bingung, sebenarnya hubungan yang seperti apa yang tercipta di antara kita. Kamu yang selalu perhatian bahkan terasa terlalu perhatian. Di depan umum, kamu tak pernah segan menggandeng tanganku, terlihat sedikit over protective. Ketika aku mencoba bertanya, dengan santai kamu menjawab, “aku ini orang yang cemburuan, jadi dengan menggandeng tangan kamu, dunia jadi tahu kalau kamu itu milik aku.” disusul dengan senyum menawan itu lagi. Seketika aku terkesima.  Melihat ekspresiku yang begitu, digenggamnya tanganku lembut, ditatapnya mataku dalam-dalam, dan dia tersenyum, seperti sebuah senyuman untuk meyakinkanku. Aku semakin bingung, dan aku terlalu takut untuk berasumsi macam-macam saat itu juga.
“Gue sadar sama perbedaan di antara kita, gue sangat sadar. Tetapi nggak bisakah untuk beberapa detik aja kita ngelupainnya, lalu ngebebasin perasaan yang uda lama kita penjarakan? Bentaran aja, izinkan gue ngerasain hal itu, sebelum akhirnya semua harus berakhir tanpa pernah kita berusaha untuk memulainya.” katanya saat itu sambil tersenyum getir.
Aku mengerti sekali sama arah pembicaraannya. Tetapi aku lebih memilih untuk tetap berpura-pura tidak mengerti. Aku benci ketika sudah membahas masalah ini. Aku benci ketika harus disadarkan sama kenyataan yang seketika membuatku harus mengubur perasaanku dalam-dalam. Aku mengerti Zayn, aku sangat mengerti bagaimana rasanya. Aku mengerti bagaimana sakitnya. Karena aku juga merasakannya, walaupun aku selalu saja memungkirinya di hadapanmu.
Walaupun hubungan yang terjalin diantara kita lebih dari teman, sebagai perempuan aku juga terkadang butuh kepastian. Tapi lagi lagi, kenyataan yang selalu saja ingin aku lupakan itu menamparku dengan keras, selamanya kita memang hanya sebatas teman, Zayn.

***

Aku ingat, siang Jumat kemarin, aku sedang duduk sendirian di depan masjid itu, menunggumu tentunya. Menunggu kamu yang saat itu sedang bercakap-cakap dengan Tuhanmu. Aku sedikit penasaran dengan isi percakapan kalian. Apakah kamu akan bercerita tentang kita? Tentang pergumulan kita. Tentang kita yang jelas-jelas saling menyimpan rasa, tetapi tak diizinkan takdir untuk saling berbagi. Ah ya, aku juga selalu membicarakan hal itu berulang-ulang ketika aku sedang bercerita kepada Tuhanku. Aku yakin, dia mulai jenuh mendengarnya, tapi bukankah itu baik, karena bosan mendengar doa yang sama yang setiap hari terus kita elu-elukan, lantas Dia akan mengabulkannya. Bukankah kita selalu berasumsi begitu?
“Heh, kenapa lo senyum-senyum?” suara Zayn seketika membuyarkan lamunanku.
“Ha, eh, nggak, nggak papa. Em, uda selesai berdoanya?” tanyaku mengalihkan perhatian. Aku malas jika nanti harus diinterogasi olehnya.
“Udah. Emang lama banget ya?”
“Ah nggak terlalu. Kenapa? Panjang isi doanya? Cerita apa aja sih? Hahaha”
“Cerita masalah yang sama. Tapi doanya mesti khusyuk, jadi kemungkinan untuk segera didengarkan oleh-Nya juga lebih besar. Hehehehe” jawabnya malu-malu.
“Aku ngerasa semuanya bakal sia-sia, Zayn. Mana mungkin doa seperti itu  bakal dikabulin. Doanya aneh gitu. Mending kita berhenti aja, mending doain yang lain, masih banyak kali yang jauh lebih penting untuk di doakan.” ucapku serius.
Seketika mimik wajah Zayn berubah tegang. Dia terdiam. Tak tampak lagi ekspresi tersipu malu di wajahnya. Tak terdengar lagi gelak tawanya. Sekarang dia malah sibuk dengan pikirannya. Sedangkan aku, aku sudah tak berniat lagi untuk bersuara. Aku hanya tak ingin memperkeruh keadaan.
Aku yakin Mereka pasti mendengarkan doa kita.” Ucap Zayn lirih, hampir terdengar berbisik.
Aku hanya menatapnya frustasi. ‘Aku terlalu takut berharap, Zayn’ ucapku dalam hati. Dia balas menatapku. Terlihat tatapan meyakinkanku dari sorot kedua matanya. Lalu dia tersenyum getir. Ah ternyata senyum itu tak juga bisa menutupi ketidakpercayaan dirinya. Kau memang tak lebih yakin dari aku, Zayn.

***

            Pada akhirnya kuputuskan juga untuk mulai menjaga jarak dengannya. Aku tahu, ini hanya keputusan bodoh yang selanjutnya akan menyiksa hatiku sendiri. Tetapi aku harus bisa bertahan, aku memang harus mengambil keputusan. Sebelum kita berdua jatuh terlalu dalam.
            Beberapa hari sudah aku tidak melihatnya, tidak mendengar suaranya, tidak mengacak-acak rambutnya, tidak menggenggam tangannya. Dan aku benar-benar merindukannya. Setiap saat selalu kucoba menahan diri untuk tidak melangkahkan kaki ke rumah pohon itu. Aku selalu berusaha mengalihkan perhatianku ke tumpukkan buku-buku yang sengaja aku pinjam di perpustakaan umum, tetapi tetap saja nggak bisa. Aku sama sekali tidak menikmati setiap kata yang tertulis di dalam buku-buku itu. Dan aku rasa, waktu berjalan pelan, terlalu pelan.
            Hingga seketika, menjelang magrib, kuputuskan untuk ke rumah pohon itu. Aku tahu saat ini dia sedang tak disana, karena dia pasti sedang menjalankan sholat magribnya. Walau seketika harapan bahwa dia sekarang sedang duduk diam disana menggelitik hatiku perlahan, yang kemudian segera saja aku tepis.
            Memang benar, dia tak disana. Dia mungkin sedang berada di masjid sekarang. Dia memang seorang muslim yang taat. Seorang yang sangat mencintai agamanya, mencintai Tuhannya. Sama denganku, aku juga sangat  mencintai agamaku. Aku mencintai Tuhanku.
            “Ms. Wilson. Ms. Wilson. Ms. Wilson, bangun.. Hey, bangun..” sayup-sayup terdengar suara yang terus menyebut namaku. Aku rasa aku mengenal suara ini, seperti suaranya Zayn. Ah mungkin aku hanya bermimpi, karena aku terlalu memikirkannya.
            Tetapi nggak, suaranya terdengar lagi, dan sekarang aku merasa ada yang menyentuh pipiku dengan lembut. Iya, dia memang disini sekarang. Perlahan kubuka kedua mataku, dan aku melihat Zayn yang sekarang duduk tepat di hadapanku.
            “Kamu kok tidur disini?” tanyanya keheranan.
            Aku masih belum percaya dengan penglihatanku. Aku mengerjap-ngerjap, dan setelah seluruh nyawaku terkumpul, aku langsung tersenyum. Ingin rasanya kupeluk lelaki ini, tapi sekali lagi, aku sadar akan posisiku.
            “Hey, kenapa lo tidur disini. Terus kemana aja lo selama ini? Kok ngilang gitu aja?” dia langsung menghujaniku dengan pertanyaan.
            “Aku kayaknya ketiduran deh hehehe.. Hm, aku nggak ngilang kok. Akhir-akhir ini lagi sibuk aja, banyak tugas sekolah soalnya.” jawabku, tentu saja berbohong.
            “Lo bohong. Lo lagi nyembunyiin sesuatu dari gue kan?” tanyanya menyelidik.
            “Ngapain bohong? Aku emang hanya lagi sibuk aja kok..”
            “Lo nggak bisa bohong sama gue, Ms. Wilson. Hidung lo selalu aja kembang kempis kalo lo bohong.” sahutnya mengejek, tapi dia sama sekali tak menunjukkan ekspresi hendak bercanda. Aku jadi enggan untuk tertawa. Aku hanya diam.
            “Lo emang ngehindarin gue kan? Kenapa?” tanyanya serius.
            “Apa perlu lagi aku menjawabnya?” aku balik bertanya.
            “Masalah yang sama? Gue yakin, kita pasti menemukan jalan keluarnya. Kita hanya butuh sedikit bersabar.”
            “Nggak Zayn, memang nggak pernah ada penyelesaian dari masalah semacam ini. Selama apapun kita bersabar. Sekeras apapun kita mencari jawaban”
            “Terus? Lo mau apa? Mau pergi gitu aja, mau ngejauhin gue? Mau jadi pengecut?” tanyanya sinis.
            “Memang hanya itu yang bisa aku lakukan Zayn.” Teriakku frustasi.
            “Lo nggak boleh pergi. Gue sayang sama lo Ms. Wilson. Gue nggak mau kehilangan lo.” sahutnya lirih.
            Untuk beberapa saat aku terus diam. Aku bingung mau jawab seperti apa. “Bagaimana bisa kamu mencintai seseorang yang jelas-jelas tempat ibadahnya berbeda dengan tempat ibadahmu?” ucapku tiba-tiba.
            Sekilas tampak ekspresi terkejut dari wajahnya. Dia lantas lalu menatapku, sedikit lama. Sekarang gilirannya yang terdiam.
            “Iya. Aku juga bingung. Bagaimana bisa aku mencintai kamu? Kamu yang jelas-jelas mengucapkan nama Tuhan dengan pelafalan yang berbeda dengan nama Tuhanku..” lanjutku lagi. “Bagaimana bisa kita yakin bahwa kita saling mencintai dengan keadaan seperti ini? Kita jelas-jelas menganut kepercayaan yang berbeda. Kepercayaan yang bahkan sering sekali saling bertentangan.” Aku terus berbicara.
            Dia masih terus diam. Sepertinya dia sedang mencari-cari jawaban. Ntahlah.
            Aku rasa kita tak lebih baik dari seorang pengkhianat. Kita saling mencintai, jelas kita sedang mengkhianati Tuhan kita masing-masing.” setetes buliran air mata mengalir lembut melewati pipiku.
            Dia semakin tertegun menatapku.
            Kita berbeda, Zayn. Kita jelas berbeda. Tetapi mengapa kita diizinkan untuk saling mencintai? Itu yang tak pernah bisa diterima akal ku sebagai seorang manusia normal.” Seruku lagi, sedikit berteriak.
            “Gue juga sama nggak mengertinya dengan lo. Gue juga bingung.” jawabnya tiba-tiba, hampir menyamai teriakkanku. “Gue yakin kalau kita itu sebenarnya mencintai Tuhan yang sama, ya walaupun kita memanggil-Nya dengan sebutan yang berbeda, walaupun kita memuja-Nya di tempat yang berbeda.” Sepertinya dia sedang berusaha menjawab pertanyaanku tadi. Pertanyaan yang sebenarnya aku pun tidak terlalu butuh jawabannya.
            “Malah aku yang yakin Zayn, kamu bahkan tidak yakin dengan ucapanmu yang terakhir hahaha” aku memaksakan diri untuk tertawa. Dia hanya menatapku.
            “Gue bukan pecundang yang dengan gamblangnya bakal berhenti, Ms. Wilson. Gue masih sanggup untuk bertahan. Untuk memperjuangkan lo. Untuk kita.”
            Oh, jadi kamu mau ninggalin Tuhanmu demi aku? Iya, begitu?” tanyaku sinis.
            “Hah? Nggak begitu. Gue juga nggak bakal ngelakuin hal bodoh itu.” Jawabnya gelagapan.
            “Sama. Aku juga nggak ingin kamu ngelakuinnya, Zayn. Dan kamu pasti tahu, aku juga nggak bakal lakuin itu.”
            Lagi lagi, dia hanya menatapku.
            “Jadi masalah kelar Zayn, kita nggak perlu memperumitnya lagi.” Aku menutup pembicaraan.
            Dia masih diam. Tampak dia sedang mencerna setiap potongan kalimatku.
            “Gue masih percaya sama apa yang gue yakinin Ms. Wilson.”
            Aku tak menjawab lagi, aku hanya tak ingin melanjutkan pembicaraan ini lagi. “Eh, btw kenapa sih aku selalu dipanggil Ms. Wilson? Selama kita kenal, kamu nggak pernah memanggil aku Christie” aku sedang berusaha mengalihkan pembicaraan.
            Gue suka aja, soalnya hanya gue doang yang manggil lo gitu. Gue bakal manggil lo Christie ntar kalo lo mau nikah sama gue. Karena nama lo kan berubah jadi Christie Malik.” Jawab Zayn sekenanya.
            “Tolong jangan mulai lagi Zayn……” ah sepertinya aku salah mencari topik pembicaraan.
            “Baiklah, Ms. Wilson”  dia sengaja memberi penekanan di kata Ms. Wilson ..
            Aku hanya tertawa mendengarnya. Dan dia ikut tertawa setelah melihatku tertawa.

***

            Beberapa bulan berlalu sejak pembicaraan itu berakhir. Pembicaraan rumit yang ternyata mengubah segalanya. Aku yang masih tetap bertahan untuk terus menjauhi Zayn, akhirnya mendapat respon yang sama darinya.  Dia juga mulai menjauh. Mungkin akhirnya dia juga menyerah. Mungkin dia lelah.
Tak tahan lagi, aku memutuskan untuk mengunjungi rumah pohon kita lagi. Dan sayang, yang terlihat bukan lagi rumah pohon berlapis cat biru muda dengan beraneka macam tanaman yang tumbuh di sekitarnya. Sekarang yang ada tak lebih dari sebuah rumah kumuh tak terurus dengan cat yang terkelupas, tanaman-tanaman yang layu tak berkehidupan lagi serta sarang laba-laba bertebaran dimana-mana. Jelas sekali bahwa sudah sekian lama tak ada lagi yang datang mengunjungi tempat ini. Dia tak pernah datang lagi.
Kulangkahkan kakiku memasuki rumah itu sembari membersih-bersihkannya dari tumpukkan debu yang sudah menempel erat di dinding-dindingnya. Kusapukan pandanganku kesekelilingnya, tak ada yang berubah. Semuanya masih terletak ditempatnya. Sama seperti rantai salib dan tasbih itu yang masih saja bergantung berdekatan. Dulu, kita berdua yang menggantungkannya disana. Dimeja itu juga masih ada sajadah, sarung sama peci yang dulu sering dipakai Zayn saat dia sholat di tempat ini. Aku ingat, dulu aku suka memperhatikan dia dengan seksama, dia terlihat sangat manis saat sedang berbincang dengan Tuhannya.
Disudut sana juga ada speaker kecil yang masih setia bertengger dengan manis. Speaker yang sering aku gunakan untuk memutarkan sekumpulan lagu-lagu. Dulu, aku sangat sering mendengarkan lagu Allah Mengerti, sampai Zayn hafal betul setiap baris liriknya, akhirnya dia sering ikut menyanyikannya bersamaku. ‘Allah mengerti, Allah peduli, segala persoalan yang kita hadapi. Tak akan pernah dibiarkannya ku bergumul sendiri, sebab Allah peduli..
Setelah membersihkan tempat itu. Aku memutuskan untuk pulang. Sebenarnya aku ingin menunggu Zayn, tetapi menyadari kenyataan bahwa Zayn sama sekali nggak mungkin lagi ketempat itu, menepis niatku tadi. Zayn mungkin sudah lupa sama tempat ini. Zayn mungkin sudah lupa sama aku. ‘
Perlahan, aku berjalan meninggalkan tempat itu. Sejenak aku berhenti, sekali lagi kupalingkan wajahku kebelakang, menoleh ke rumah pohon itu. Aku rasa, ini yang terakhir kalinya aku kesini. Karena tak ada alasan lagi untuk aku harus kembali kesini dikemudian hari. Semuanya sudah selesai. Sama seperti yang dulu aku dan Zayn sering perbincangkan, ‘kita terpaksa harus mengakhirinya, bahkan sebelum kita mencoba untuk memulainya..

***

Tak jauh dari tempat itu, dibalik pohon besar itu, tampak seseorang yang sedang memperhatikan Christie dengan tatapan menyedihkan. Sepertinya dia menangis, bulir-bulir air mata mengalir perlahan dari sudut mata indahnya. Dia ingin sekali berlari kesana dan memeluk gadisnya itu, tapi kenyataan lagi-lagi mengempaskannya dengan kasar.
 Zayn menuruti permintaan Christie. Kata-kata Christie yang meminta mereka berdua untuk saling menjauh. Zayn menghargai keputusan yang diambil Christie. Walau pada akhirnya dia harus menjadi pecundang karena tak pernah bisa mempertahankan perempuan Kristen itu. Mungkin Christie benar, memang tak pernah ada jalan keluar untuk persoalan semacam ini.
Kita tidak berbuat dosa. Kita hanya sedang jatuh cinta. Tetapi mengapa semuanya menjadi serumit ini?’ tanyanya dalam hati.
 

0 komentar:

Posting Komentar