Dia menatapku.
Dia jelas-jelas menatapku. Ntah sudah keberapa kalinya aku coba melirik ke
arahnya, dan pandangannya masih tertuju kepadaku. Siapa dia? Aku ingat sekali,
aku sama sekali tidak mengenalnya.
Seketika
kupalingkan wajahku sejenak, memandang deretan pohon cemara di ujung taman itu.
Lalu ketika kucoba melirik ke arahnya, dia tidak ada lagi. Dia menghilang.
Kemana dia? Aku mencoba mencari-cari, kusapukan pandanganku ke seluruh bagian
taman ini, dan dia sudah tak terlihat. Seketika, perasaan kecewa menyelinap
perlahan ke hatiku. Aku menghembuskan nafas sejenak, kembali kufokuskan pikiranku
ke sebuah buku yang sedari tadi kugenggam. Buku itu mulai terlihat kusut,
ternyata tanpa aku sadari sejak tadi buku itu hanya sebatas aku pegang dan
bolak-balik saja, niatku untuk membacanya hingga selesai hilang begitu saja
terbawa angin yang berhembus sepoi-sepoi di taman ini.
Aku masih saja
terus membolak-balik lembaran-lembarannya, padahal sangat jelas pikiranku sudah
tidak lagi tertumpu pada buku itu. Pikiranku dipenuhi oleh tatapan-tatapan
lelaki tadi, penuh dengan sorot matanya yang tajam. Sedikit menakutkan memang
ditatap seperti itu oleh seseorang yang bahkan sama sekali belum aku kenal,
tetapi kenyataan bahwa tatapan itu berasal dari sepasang mata cokelat terang yang
sangat indah, sedikit menepis ketakutan tadi.
Aku yang terlalu
sibuk dengan lamunan-lamunan tak berartiku dikejutkan oleh sebuah suara berat
yang ntah sedang menyebutkan kata apa. Tiba-tiba saja otak kecilku terlihat
sangat sulit untuk mencernanya. Dengan nafas tertahan, kucoba memalingkan
wajahku kea rah sumber suara, dan ternyata dia, si pemilik sorotan mata tajam
tadi sekarang sedang berdiri tepat di hadapanku. Terpampang jelas dia sedang
menatapku, bahkan dia tersenyum memperlihatkan rentetan gigi putihnya. YaTuhan,
tiba-tiba saja aku menjadi sangat sulit untuk bernapas, aku butuh oksigen saat
ini juga.
Aku terus
menatapnya. Mungkin cukup lama. Hingga tatapan hangat tadi berubah menjadi
tatapan kebingungan. Dia kembali berbicara. Tetapi aku masih belum bisa
mendengar suaranya. Kemudian dia menggerak-gerakkan tangannya tepat diwajahku,
aku mengerjap, lalu kuhembuskan nafasku dengan sekali hentakan. Ah, terimakasih
Tuhan, ternyata aku memang masih menginjakkan bumi.
“Hallo, lo baik-baik
saja?” tanya perlahan, masih dengan tatapan kebingungan.
“Yah, iya iya..”
hanya kata itu yang akhirnya bisa aku ucapkan.
“Ah ya,
syukurlah.” Dia kembali tersenyum. Aku baru sadar, ternyata dia mempunyai
sebuah tanda lahir kecil didekat bibirnya.
Aku hanya tersenyum
malu-malu.
“Hm, maaf ya
daritadi gue ngeliatin lo terus. Gue heran aja liat lo yang duduk di bawah nih
pohon, trus asik sendiri sama buku yang lo pegang. Hehehe” sekarang dia
tertawa. Dan beberapa kali dia terlihat sedang menggigit-gigit bagian bawah
bibirnya. Aneh.
“Oh itu, nggak
papa. Aku hanya lagi bosen aja dirumah, jadi kesini buat ngabisin waktu.”
Dia hanya
manggut-manggut saja mendengar penjelasanku. Lalu dia tersenyum lagi. Apakah
laki-laki yang satu ini memang sengaja terus-terusan memamerkan rentetan gigi
putihnya? Apa dia sengaja membuatku seketika sulit bernafas ketika senyum itu
kembali menghiasi wajah tampannya? Dia memang ingin membunuhku perlahan..
“Eh ya, aku
punya ice cream yang aku beli di depan taman sana. Ini..” dia menyodorkan aku
ice cream rasa vanilla.
“Kenapa vanilla?
tanyaku heran.
“Karena yang
cokelat buat gue” terdengar lagi gelak tawanya.
“Hahahaha alasan
yang aneh. Btw, makasih.” aku ikut tertawa.
Sejenak, suasana
menjadi hening. Dia terlihat sibuk dengan ice cream cokelat itu. Dan aku juga
sibuk dengan ice cream vanillaku, tetapi lebih sibuk menenangkan hatiku yang
sedari tadi berdebar sangat cepat.
“Nama lo siapa?”
tanyanya memulai percakapan lagi.
“Christie. Christie
Wilson.” Jawabku sembari menyodorkan tanganku.
“Gue Zayn. Zayn
Javadd Malik.” Dia tersenyum lagi lalu menerima jabatan tanganku. Menurutku dia
memang hobi tersenyum.
Perkenalan yang
singkat. Saling menyapa, bertukar pandangan, saling melempar senyuman, lalu
saling memperkenalkan nama. Aku rasa cukup untuk awal sebuah perkenalan,
apalagi dia juga telah menraktirku ice cream. Dan sekarang kita berteman.
Terkesan cepat bukan? Secepat saraf-saraf otakku merangkaikan setiap keping
gambaran dirinya lalu menyimpannya dengan sangat baik di bagian khusus otakku.
Secepat jantungku yang memompa darahnya dengan kecepatan maksimal,
mengakibatkan darahku yang terus saja berdesir tak karuan. Secepat suhu tubuhku
yang tiba-tiba saja berubah labil, panas-dingin, pipiku juga tak berhenti
bersemu merah. Secepat hatiku menetapkan diri pada hatimu. Secepat aku jatuh
cinta sama kamu. Sekiranya butuh tiga detik, setelah menghafalkan senyuman itu
sebaik-baiknya. Mama, anak manjamu ini sedang jatuh cinta ternyata.
***
Hampir setiap
hari kita membuat janji. Pukul setengah 5 sore di banjar ke 7 dari sebelah
kiri, baris ke 4 dari depan, bgaian taman sebelah dalam, di rumah pohon kita.
Tepatnya, rumah pohon sederhana yang kita bangunkan bersama beberapa waktu
lalu.
Di atas sana,
kita saling bercerita. Bercerita apa saja. Aku selalu tertarik mendengar cerita
tentang dirimu. Tentang kamu yang merupakan keturunan Pakistan-Inggris, lahir
tanggal 12 Januari 1993 di Bradford yang kemudian beberapa waktu kemudian
pindah ke Indonesia. Tentang keluargamu yang hangat, ayah-ibumu yang harmonis,
serta ketiga saudara perempuanmu yang menyenangkan. Kamu yang sebenarnya narsis
tapi seringnya terlihat pemalu. Kamu dengan tinggi 178 cm, berhoroskop
Capicorn. Kamu suka warna biru, suka banget makan ayam, dan suka parfum rasa
vanilla. Kamu yang jago nyanyi, jago gambar sama jago main music triangle. Kamu
yang tatoan tapi takut sama ketinggian. Kamu yang tidak bisa berenang dan nggak
pandai menyetir mobil. Kamu dengan apa adanya kamu, aku suka.
Tak jarang kita
juga saling tertawa, tetapi lebih ke saling menertawakan kebodohan masing-masing.
Aku juga suka geli lihat kebiasaanmu yang suka melet-melet nggak jelas. Dan
ketika aku mengejekmu, satu jitakan lembut mendarat di kepalaku. Yang kemudian
disusul oleh gelak tawa kita lagi. Kamu memang tak pernah bisa membuat aku
berhenti tertawa, ada saja tingkah anehmu yang membuatku kembali meringis
menahan perutku yang sakit karena tak henti-henti tertawa. Sama seperti hatiku
yang semakin hari, semakin mengagumimu.
***
Sudah hampir
setahun kita saling mengenal dan menghabiskan waktu di rumah pohon kita. Tak
jarang juga kita berjalan berdua ke toko buku, bioskop, sekedar mengatasi
kebosanan yang sejenak hinggap ketika kita duduk diam tak tau mau ngapain di
rumah pohon itu.
Aku terkadang
bingung, sebenarnya hubungan yang seperti apa yang tercipta di antara kita. Kamu
yang selalu perhatian bahkan terasa terlalu perhatian. Di depan umum, kamu tak
pernah segan menggandeng tanganku, terlihat sedikit over protective. Ketika aku
mencoba bertanya, dengan santai kamu menjawab, “aku ini orang yang cemburuan, jadi dengan menggandeng tangan kamu,
dunia jadi tahu kalau kamu itu milik aku.” disusul dengan senyum menawan itu
lagi. Seketika aku terkesima. Melihat
ekspresiku yang begitu, digenggamnya tanganku lembut, ditatapnya mataku
dalam-dalam, dan dia tersenyum, seperti sebuah senyuman untuk meyakinkanku. Aku
semakin bingung, dan aku terlalu takut untuk berasumsi macam-macam saat itu
juga.
“Gue sadar sama
perbedaan di antara kita, gue sangat sadar. Tetapi nggak bisakah untuk beberapa
detik aja kita ngelupainnya, lalu ngebebasin perasaan yang uda lama kita
penjarakan? Bentaran aja, izinkan gue ngerasain hal itu, sebelum akhirnya semua
harus berakhir tanpa pernah kita berusaha untuk memulainya.” katanya saat itu sambil
tersenyum getir.
Aku mengerti
sekali sama arah pembicaraannya. Tetapi aku lebih memilih untuk tetap
berpura-pura tidak mengerti. Aku benci ketika sudah membahas masalah ini. Aku
benci ketika harus disadarkan sama kenyataan yang seketika membuatku harus
mengubur perasaanku dalam-dalam. Aku mengerti Zayn, aku sangat mengerti bagaimana
rasanya. Aku mengerti bagaimana sakitnya. Karena aku juga merasakannya,
walaupun aku selalu saja memungkirinya di hadapanmu.
Walaupun
hubungan yang terjalin diantara kita lebih dari teman, sebagai perempuan aku
juga terkadang butuh kepastian. Tapi lagi lagi, kenyataan yang selalu saja
ingin aku lupakan itu menamparku dengan keras, selamanya kita memang hanya
sebatas teman, Zayn.
***
Aku ingat, siang
Jumat kemarin, aku sedang duduk sendirian di depan masjid itu, menunggumu
tentunya. Menunggu kamu yang saat itu sedang bercakap-cakap dengan Tuhanmu. Aku
sedikit penasaran dengan isi percakapan kalian. Apakah kamu akan bercerita
tentang kita? Tentang pergumulan kita. Tentang kita yang jelas-jelas saling
menyimpan rasa, tetapi tak diizinkan takdir untuk saling berbagi. Ah ya, aku
juga selalu membicarakan hal itu berulang-ulang ketika aku sedang bercerita
kepada Tuhanku. Aku yakin, dia mulai jenuh mendengarnya, tapi bukankah itu
baik, karena bosan mendengar doa yang sama yang setiap hari terus kita
elu-elukan, lantas Dia akan mengabulkannya. Bukankah kita selalu berasumsi
begitu?
“Heh, kenapa lo
senyum-senyum?” suara Zayn seketika membuyarkan lamunanku.
“Ha, eh, nggak,
nggak papa. Em, uda selesai berdoanya?” tanyaku mengalihkan perhatian. Aku
malas jika nanti harus diinterogasi olehnya.
“Udah. Emang
lama banget ya?”
“Ah nggak
terlalu. Kenapa? Panjang isi doanya? Cerita apa aja sih? Hahaha”
“Cerita masalah
yang sama. Tapi doanya mesti khusyuk, jadi kemungkinan untuk segera didengarkan
oleh-Nya juga lebih besar. Hehehehe” jawabnya malu-malu.
“Aku ngerasa
semuanya bakal sia-sia, Zayn. Mana mungkin doa seperti itu bakal dikabulin. Doanya aneh gitu. Mending
kita berhenti aja, mending doain yang lain, masih banyak kali yang jauh lebih
penting untuk di doakan.” ucapku serius.
Seketika mimik
wajah Zayn berubah tegang. Dia terdiam. Tak tampak lagi ekspresi tersipu malu
di wajahnya. Tak terdengar lagi gelak tawanya. Sekarang dia malah sibuk dengan
pikirannya. Sedangkan aku, aku sudah tak berniat lagi untuk bersuara. Aku hanya
tak ingin memperkeruh keadaan.
“Aku yakin
Mereka pasti mendengarkan doa kita.” Ucap Zayn lirih, hampir terdengar
berbisik.
Aku hanya
menatapnya frustasi. ‘Aku terlalu takut
berharap, Zayn’ ucapku dalam hati. Dia balas menatapku. Terlihat tatapan
meyakinkanku dari sorot kedua matanya. Lalu dia tersenyum getir. Ah ternyata
senyum itu tak juga bisa menutupi ketidakpercayaan dirinya. Kau memang tak
lebih yakin dari aku, Zayn.
***
Pada
akhirnya kuputuskan juga untuk mulai menjaga jarak dengannya. Aku tahu, ini
hanya keputusan bodoh yang selanjutnya akan menyiksa hatiku sendiri. Tetapi aku
harus bisa bertahan, aku memang harus mengambil keputusan. Sebelum kita berdua
jatuh terlalu dalam.
Beberapa
hari sudah aku tidak melihatnya, tidak mendengar suaranya, tidak mengacak-acak
rambutnya, tidak menggenggam tangannya. Dan aku benar-benar merindukannya.
Setiap saat selalu kucoba menahan diri untuk tidak melangkahkan kaki ke rumah
pohon itu. Aku selalu berusaha mengalihkan perhatianku ke tumpukkan buku-buku
yang sengaja aku pinjam di perpustakaan umum, tetapi tetap saja nggak bisa. Aku
sama sekali tidak menikmati setiap kata yang tertulis di dalam buku-buku itu.
Dan aku rasa, waktu berjalan pelan, terlalu pelan.
Hingga
seketika, menjelang magrib, kuputuskan untuk ke rumah pohon itu. Aku tahu saat
ini dia sedang tak disana, karena dia pasti sedang menjalankan sholat
magribnya. Walau seketika harapan bahwa dia sekarang sedang duduk diam disana
menggelitik hatiku perlahan, yang kemudian segera saja aku tepis.
Memang
benar, dia tak disana. Dia mungkin sedang berada di masjid sekarang. Dia memang
seorang muslim yang taat. Seorang yang sangat mencintai agamanya, mencintai
Tuhannya. Sama denganku, aku juga sangat
mencintai agamaku. Aku mencintai Tuhanku.
“Ms.
Wilson. Ms. Wilson. Ms. Wilson, bangun.. Hey, bangun..” sayup-sayup terdengar
suara yang terus menyebut namaku. Aku rasa aku mengenal suara ini, seperti
suaranya Zayn. Ah mungkin aku hanya bermimpi, karena aku terlalu memikirkannya.
Tetapi
nggak, suaranya terdengar lagi, dan sekarang aku merasa ada yang menyentuh
pipiku dengan lembut. Iya, dia memang disini sekarang. Perlahan kubuka kedua
mataku, dan aku melihat Zayn yang sekarang duduk tepat di hadapanku.
“Kamu
kok tidur disini?” tanyanya keheranan.
Aku
masih belum percaya dengan penglihatanku. Aku mengerjap-ngerjap, dan setelah
seluruh nyawaku terkumpul, aku langsung tersenyum. Ingin rasanya kupeluk lelaki
ini, tapi sekali lagi, aku sadar akan posisiku.
“Hey,
kenapa lo tidur disini. Terus kemana aja lo selama ini? Kok ngilang gitu aja?”
dia langsung menghujaniku dengan pertanyaan.
“Aku
kayaknya ketiduran deh hehehe.. Hm, aku nggak ngilang kok. Akhir-akhir ini lagi
sibuk aja, banyak tugas sekolah soalnya.” jawabku, tentu saja berbohong.
“Lo
bohong. Lo lagi nyembunyiin sesuatu dari gue kan?” tanyanya menyelidik.
“Ngapain
bohong? Aku emang hanya lagi sibuk aja kok..”
“Lo
nggak bisa bohong sama gue, Ms. Wilson. Hidung lo selalu aja kembang kempis
kalo lo bohong.” sahutnya mengejek, tapi dia sama sekali tak menunjukkan
ekspresi hendak bercanda. Aku jadi enggan untuk tertawa. Aku hanya diam.
“Lo
emang ngehindarin gue kan? Kenapa?” tanyanya serius.
“Apa
perlu lagi aku menjawabnya?” aku balik bertanya.
“Masalah
yang sama? Gue yakin, kita pasti menemukan jalan keluarnya. Kita hanya butuh
sedikit bersabar.”
“Nggak
Zayn, memang nggak pernah ada penyelesaian dari masalah semacam ini. Selama apapun
kita bersabar. Sekeras apapun kita mencari jawaban”
“Terus?
Lo mau apa? Mau pergi gitu aja, mau ngejauhin gue? Mau jadi pengecut?” tanyanya
sinis.
“Memang
hanya itu yang bisa aku lakukan Zayn.” Teriakku frustasi.
“Lo
nggak boleh pergi. Gue sayang sama lo Ms. Wilson. Gue nggak mau kehilangan lo.”
sahutnya lirih.
Untuk
beberapa saat aku terus diam. Aku bingung mau jawab seperti apa. “Bagaimana
bisa kamu mencintai seseorang yang jelas-jelas tempat ibadahnya berbeda dengan
tempat ibadahmu?” ucapku tiba-tiba.
Sekilas
tampak ekspresi terkejut dari wajahnya. Dia lantas lalu menatapku, sedikit
lama. Sekarang gilirannya yang terdiam.
“Iya.
Aku juga bingung. Bagaimana bisa aku mencintai kamu? Kamu yang jelas-jelas
mengucapkan nama Tuhan dengan pelafalan yang berbeda dengan nama Tuhanku..”
lanjutku lagi. “Bagaimana bisa kita yakin bahwa kita saling mencintai dengan
keadaan seperti ini? Kita jelas-jelas menganut kepercayaan yang berbeda.
Kepercayaan yang bahkan sering sekali saling bertentangan.” Aku terus berbicara.
Dia
masih terus diam. Sepertinya dia sedang mencari-cari jawaban. Ntahlah.
“Aku
rasa kita tak lebih baik dari seorang pengkhianat. Kita saling mencintai, jelas
kita sedang mengkhianati Tuhan kita masing-masing.” setetes buliran air mata mengalir
lembut melewati pipiku.
Dia
semakin tertegun menatapku.
“Kita
berbeda, Zayn. Kita jelas berbeda. Tetapi mengapa kita diizinkan untuk saling
mencintai? Itu yang tak pernah bisa diterima akal ku sebagai seorang manusia
normal.” Seruku lagi, sedikit berteriak.
“Gue
juga sama nggak mengertinya dengan lo. Gue juga bingung.” jawabnya tiba-tiba,
hampir menyamai teriakkanku. “Gue yakin kalau kita itu sebenarnya mencintai
Tuhan yang sama, ya walaupun kita memanggil-Nya dengan sebutan yang berbeda,
walaupun kita memuja-Nya di tempat yang berbeda.” Sepertinya dia sedang berusaha
menjawab pertanyaanku tadi. Pertanyaan yang sebenarnya aku pun tidak terlalu
butuh jawabannya.
“Malah
aku yang yakin Zayn, kamu bahkan tidak yakin dengan ucapanmu yang terakhir hahaha”
aku memaksakan diri untuk tertawa. Dia hanya menatapku.
“Gue
bukan pecundang yang dengan gamblangnya bakal berhenti, Ms. Wilson. Gue masih
sanggup untuk bertahan. Untuk memperjuangkan lo. Untuk kita.”
“Oh,
jadi kamu mau ninggalin Tuhanmu demi aku? Iya, begitu?” tanyaku sinis.
“Hah?
Nggak begitu. Gue juga nggak bakal ngelakuin hal bodoh itu.” Jawabnya
gelagapan.
“Sama.
Aku juga nggak ingin kamu ngelakuinnya, Zayn. Dan kamu pasti tahu, aku juga
nggak bakal lakuin itu.”
Lagi
lagi, dia hanya menatapku.
“Jadi
masalah kelar Zayn, kita nggak perlu memperumitnya lagi.” Aku menutup
pembicaraan.
Dia
masih diam. Tampak dia sedang mencerna setiap potongan kalimatku.
“Gue
masih percaya sama apa yang gue yakinin Ms. Wilson.”
Aku
tak menjawab lagi, aku hanya tak ingin melanjutkan pembicaraan ini lagi. “Eh,
btw kenapa sih aku selalu dipanggil Ms. Wilson? Selama kita kenal, kamu nggak
pernah memanggil aku Christie” aku sedang berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Gue
suka aja, soalnya hanya gue doang yang manggil lo gitu. Gue bakal manggil lo
Christie ntar kalo lo mau nikah sama gue. Karena nama lo kan berubah jadi
Christie Malik.” Jawab Zayn sekenanya.
“Tolong
jangan mulai lagi Zayn……” ah sepertinya aku salah mencari topik pembicaraan.
“Baiklah,
Ms. Wilson” dia sengaja memberi
penekanan di kata Ms. Wilson ..
Aku
hanya tertawa mendengarnya. Dan dia ikut tertawa setelah melihatku tertawa.
***
Beberapa
bulan berlalu sejak pembicaraan itu berakhir. Pembicaraan rumit yang ternyata
mengubah segalanya. Aku yang masih tetap bertahan untuk terus menjauhi Zayn,
akhirnya mendapat respon yang sama darinya.
Dia juga mulai menjauh. Mungkin akhirnya dia juga menyerah. Mungkin dia
lelah.
Tak tahan lagi,
aku memutuskan untuk mengunjungi rumah pohon kita lagi. Dan sayang, yang
terlihat bukan lagi rumah pohon berlapis cat biru muda dengan beraneka macam
tanaman yang tumbuh di sekitarnya. Sekarang yang ada tak lebih dari sebuah
rumah kumuh tak terurus dengan cat yang terkelupas, tanaman-tanaman yang layu
tak berkehidupan lagi serta sarang laba-laba bertebaran dimana-mana. Jelas
sekali bahwa sudah sekian lama tak ada lagi yang datang mengunjungi tempat ini.
Dia tak pernah datang lagi.
Kulangkahkan
kakiku memasuki rumah itu sembari membersih-bersihkannya dari tumpukkan debu
yang sudah menempel erat di dinding-dindingnya. Kusapukan pandanganku
kesekelilingnya, tak ada yang berubah. Semuanya masih terletak ditempatnya.
Sama seperti rantai salib dan tasbih itu yang masih saja bergantung berdekatan.
Dulu, kita berdua yang menggantungkannya disana. Dimeja itu juga masih ada
sajadah, sarung sama peci yang dulu sering dipakai Zayn saat dia sholat di
tempat ini. Aku ingat, dulu aku suka memperhatikan dia dengan seksama, dia
terlihat sangat manis saat sedang berbincang dengan Tuhannya.
Disudut sana
juga ada speaker kecil yang masih setia bertengger dengan manis. Speaker yang
sering aku gunakan untuk memutarkan sekumpulan lagu-lagu. Dulu, aku sangat
sering mendengarkan lagu ‘Allah Mengerti’,
sampai Zayn hafal betul setiap baris liriknya, akhirnya dia sering ikut
menyanyikannya bersamaku. ‘Allah
mengerti, Allah peduli, segala persoalan yang kita hadapi. Tak akan pernah
dibiarkannya ku bergumul sendiri, sebab Allah peduli..’
Setelah
membersihkan tempat itu. Aku memutuskan untuk pulang. Sebenarnya aku ingin
menunggu Zayn, tetapi menyadari kenyataan bahwa Zayn sama sekali nggak mungkin
lagi ketempat itu, menepis niatku tadi. Zayn mungkin sudah lupa sama tempat
ini. Zayn mungkin sudah lupa sama aku. ‘
Perlahan, aku
berjalan meninggalkan tempat itu. Sejenak aku berhenti, sekali lagi kupalingkan
wajahku kebelakang, menoleh ke rumah pohon itu. Aku rasa, ini yang terakhir
kalinya aku kesini. Karena tak ada alasan lagi untuk aku harus kembali kesini
dikemudian hari. Semuanya sudah selesai. Sama seperti yang dulu aku dan Zayn
sering perbincangkan, ‘kita terpaksa
harus mengakhirinya, bahkan sebelum kita mencoba untuk memulainya..’
***
Tak jauh dari
tempat itu, dibalik pohon besar itu, tampak seseorang yang sedang memperhatikan
Christie dengan tatapan menyedihkan. Sepertinya dia menangis, bulir-bulir air
mata mengalir perlahan dari sudut mata indahnya. Dia ingin sekali berlari
kesana dan memeluk gadisnya itu, tapi kenyataan lagi-lagi mengempaskannya
dengan kasar.
Zayn menuruti permintaan Christie. Kata-kata
Christie yang meminta mereka berdua untuk saling menjauh. Zayn menghargai
keputusan yang diambil Christie. Walau pada akhirnya dia harus menjadi
pecundang karena tak pernah bisa mempertahankan perempuan Kristen itu. Mungkin
Christie benar, memang tak pernah ada jalan keluar untuk persoalan semacam ini.
‘Kita tidak berbuat dosa. Kita hanya sedang
jatuh cinta. Tetapi mengapa semuanya menjadi serumit ini?’ tanyanya dalam
hati.
0 komentar:
Posting Komentar