Semesta menjingga. Matahari berpulang, kembali menutup hari ini. Dan aku masih menunggu di bawah kolong langit. Sendirian. Menunggu malam datang bersama bulan dan bintang-bintangnya. Bersama hadirmu yang menjanjikan berita baik.
Hari sudah tampak gelap dan aku benar-benar merasa bosan. Namun belum lelah menanti hadirmu. Kuhitung setiap bintang yang tertangkap oleh pandanganku, mematikan rasa tak sabaranku. Hingga akhirnya pada hitungan bintang kesekian, siluetmu samar-samar terlihat dari ujung taman sana. Kamu yang biasa saja namun begitu menawan. Kamu, dengan segala kesederhanaanmu, mampu menghasilkan debar yang berbeda.
"Maaf aku terlambat." ucapmu kala itu.
"Untuk kesekian kalinya. Tenang saja, aku telah terbiasa menunggumu." balasku sambil tersenyum. Setidaknya, hingga saat ini.
"Aku tak bermaksud begitu. Kau harus mengerti keadaanku." Kau berusaha membela diri, tersindir oleh ucapanku.
Kau hanya terdiam mendengar itu. Lalu memalingkan wajahmu ke deretan pohon cemara di sudut sana. Kau merogohkan tanganmu ke dalam saku, mengambil sesuatu. Dan tebakanku tepat sasaran, sebungkus rokok.
"Jangan merokok di hadapanku." hardikku cepat.
Kau memasang tampang memelas, seperti yang sering kau lakukan saat meminta pengertianku. Namun maaf, untuk yang satu ini, aku tak akan berbelas kasih kepadamu.
Mendapati sikapku yang masih tak bergeming, kembali kau masukkan bungkusan itu ke dalam saku.
"Jadi berita baik apa yang kau hadiahkan untukku?" senyumku mengembang.
"Tidak sepenuhnya baik, tetapi aku rasa memang akan sangat baik untukmu."
"Ayo katakan. Jangan buat aku semakin penasaran."
"Sudah saatnya aku melepasmu." ucapmu begitu cepat, hampir tak tertangkap pendengaranku.
Nafasku tercekat. "Berita baik macam apa itu?" aku tertawa getir.
"Sekarang kau bisa terbebas dariku. Tak perlu lagi sering-sering menungguku seperti ini." balasmu sambil tersenyum. Senyum yang selalu kunanti saat menyambut pagi.
"Tetapi kenapa kau tiba-tiba bicara seperti ini? Apa yang terjadi padamu?"
"Aku tak apa-apa. Aku hanya tak ingin membiarkanmu bingung dengan segala ketidakpastian yang kau dapat dari orang sepertiku. Dan aku sudah memikirkan ini matang-matang." Kau tersenyum lagi.
"Mengapa kau memilih melepaskan? Terlalu susahkah untukmu mempertahankan?"
"Pria tak hebat sepertiku tak pantas untukmu."
"Sesempit itukah pemikiranmu?"
"Aku hanya mencoba untuk realistis. Kau pantas mendapat yang lebih baik dari aku."
"Pengecut." makiku.
Untuk beberapa saat, hanya keheningan yang tercipta. Kau terlihat sibuk dengan pikiranmu sendiri, dan aku sibuk menerka-nerka apa yang sedang kau pikirkan.
"Ah ya, sebenarnya tak perlu ada yang harus kita akhiri." Aku mengingatkan.
Kau menatapku tidak mengerti.
"Memangnya apa yang harus diakhiri dari sesuatu yang belum pernah dimulai?" aku kembali tertawa getir, semakin mengingatkanmu. Kemudian kau ikut tertawa bersamaku.
"Tadinya aku merasa sedang terjadi sesuatu diantara kita." sahutmu disela-sela tawa.
"Hampir, bung. Dan hampir tidaklah pernah cukup."
"Dan kemudian kita harus benar-benar berhenti disini. Saat ini. Maaf membuatmu kecewa."
"Apa aku punya cara lain untuk merubah keputusanmu?"
Lagi lagi kau hanya diam menatapku. Tatapan yang mampu melelehkanku di setiap detiknya.
"Berarti kau sudah begitu yakin dengan keputusanmu. Aku tak bisa apa-apa lagi."
"Sekali lagi, maaf. Aku tak bisa memperjuangkanmu lebih. Karena aku hanya akan membawamu dalam kesia-siaan." Kau menangkupkan kedua tanganmu di pipiku. Seakan meyakinkanku, memilih bersamamu bukanlah keputusan yang baik.
"Sebenarnya kau hanya sedang memvonis dirimu sendiri."
"Sudah kukatakan, aku hanya tak ingin menjanjikan kebahagiaan semu kepadamu. Sesuatu yang sebenarnya tak pernah ada."
Aku hanya tersenyum, meyakinkan bahwa aku kuat, berusaha menahan tangisku agar tak segera tumpah.
"Berjanjilah untuk menjaga dirimu dengan baik. Berjanjilah padaku, kau harus bahagia, nona."
"Ntah kebahagiaan seperti apa lagi yang kau maksud, saat sebenarnya dia sedang berdiri di hadapanku." ucapku hampir berbisik.
"Aku hanya persinggahanmu saja, yang tak mungkin kau jadikan tempat pemberhentian. Berjalan lurus sajalah dulu. Ketika nanti kau menemukan apa yang kau cari, sampaikan salamku untuknya." Kau masih memasang senyum terbaikmu, disaat setetes dua tetes air mata mulai mengalir dari pelupuk mataku.
"Kau juga harus berjanji padaku, jaga kesehatanmu, bung. Dan berbahagialah dengan siapapun yang kau anggap pantas untukmu, tempat pemberhentianmu."
"Aku pergi." saat tersulit disaat genggaman kita masih saling terpaut, yang kemudian dengan kekuatan yang berasal entah darimana berhasil aku lepaskan.
Kau tinggalkan aku sendirian, seperti yang biasa kau lakukan. Bahkan tak lagi berbalik, untuk melihatku sekali lagi.
Saat kutinggalkan taman itu, pandanganku tepat menyapu bayanganmu bersama seseorang. Yang akhirnya meyakinkan aku, mungkin dialah alasannya.
Tak mungkin lagi aku berharap lebih tentang kau yang kemudian berbalik dan menarik semua ucapanmu tadi, ketika sebenarnya kau telah menemukan tempat pemberhentianmu yang sebenarnya, dan baru saja menghapus jejak di persinggahanmu dulu, aku.
0 komentar:
Posting Komentar