Minggu, 22 Desember 2013

Cerita Saya Tentang Malaikat.

"selamat hari ibu, mama. tetaplah menjadi istri dan ibu terbaik untuk papa, aku, dan kedua bocah tengil lainnya. kami mencintaimu."
pernah tercipta seorang wanita berwajah malaikat, yang padanya dianugerahkan hati seluas samudra. seorang wanita sederhana namun begitu menawan. wanita yang hidupnya dipenuhi ketulusan tiada pamrih. wanita yang begitu mencintai keluarganya, dan wanita itu adalah ibu saya.

dia adalah seorang wanita yang sehari-harinya aku panggil "mama", seorang ibu dengan sejuta peran. wanita yang adalah seorang ibu rumah tangga biasa sekaligus pegawai kantoran, pandai memimpin keluarga, dan teman curhat terbaik yang penah aku temui. aku bisa bercerita apa saja sesuka hati. apa saja.

dia seorang ibu yang cerewet sekali, wujud kekhawatiran yang berlebihan, maklum naluri seorang ibu. namun dia bukan wanita yang otoriter, dia tetap memberi kebebasan, tetapi selalu mengawasiku agar tidak salah melangkah. dia juga bukan wanita yang egois, cenderung mengabaikan perasaannya demi kebahagiaan keluarga.

ketika lagi sedih, orang yang pertama ingin aku temui adalah dia. usapan tangan dan dekapan hangatnya adalah tempat paling tepat merebahkan kepala. atau ketika sedang bersukacita, aku ingin berbagi kebahagiaan dengannya. melihatnya tersenyum dan tertawa seakan sedang melihat surga sesungguhnya.

dan tentu saja, hal yang paling menyakitkan adalah melihat dia terdiam, murung, atau bersedih. ingin rasanya aku memeluknya lalu memintanya untuk berbagi beban masalah yang menganggunya. namun kebiasaannya memamerkan senyum lalu menggeleng perlahan seakan tak ada yang sedang terjadi membuatku frustasi. dia hanya sedang berusaha menyelesaikan semuanya sendiri, terlalu percaya diri bahwa dia begitu kuat, hingga lupa bahwa putrinya sekarang sudah beranjak remaja, dan begitu ingin membantu meringankan bebannya, walau hanya sebatas mendengar. aku sadar betul, betapa rapuhnya wanitaku itu.

tingkahku yang terlalu egois membuatku lupa bahwa dia mulai menua. cantiknya memang tak pernah memudar, namun dia tak setangguh dulu lagi. hingga pada akhirnya mulai menaruh tanggung jawab sekaligus harapan padaku, tetapi lebih ingin kupandang sebagai beban. terlalu banyak keinginan-keinginannya yang timbul atas diriku.

tetapi hingga kini, aku bahkan belum berani menatapnya ketika dia bercerita serangkaian khayalannya tentang masa depanku. aku hanya terlalu takut mengajaknya bermimpi tentang sesuatu yang tak mungkin dapat aku wujudkan. 

berdoa sajalah ma, agar kelak putri sulungmu menjadi wanita dewasa yang sesuai dengan harapanmu. dan tentu saja akan membuatmu bangga.

full of love,
putri sulungmu yang begitu keras kepala.

3 komentar: