“Aku percaya kepada Allah Bapa yang
Maha Kuasa, khalik langit dan bumi. Dan kepada Yesus Kristus Anak-Nya yang
tunggal Tuhan kita.”
Ucap seorang
wanita di sudut sepi sebuah gereja yang kudus. Seluruh orang beribadah dengan khusu.
“Bismillahirahmannirahim.
Alhamdulillahirabbil alamin.”
Lembut suara
pria itu mengalun, menambah suasana hikmah di mesjid kala itu.
“Yang dikandung dari Roh Kudus, lahir dari dara Maria. Yang menderita sengsara di bawah pemerintahan Pontius Pilatus, disalibkan, mati dan dikuburkan, turun ke dalam Kerajaan Maut.”
Lanjut wanita
dengan mata tertutup, dia begitu menikmati persekutuannya dengan Tuhan yang
mendengar seruan pengakuan iman rasuli dari bibirnya.
“Arrahman nirrahim. Malikiyau middin.”
Bibir pria itu
masih saja mengamit haru, dia membayangkan bahwa Tuhan sedang menatap wajahnya
yang begitu tampan seusai dibasuh oleh air wudhu.”
“Pada hari ketiga, bangkit pula dari
antara orang mati. Naik ke Sorga, duduk di sebelah kanan Allah, bapa yang Maha
Kuasa. Dan dari sana Ia akan dating untuk menghakimi orang yang hidup dan
mati.”
Perlahan-lahan
wanita itu semakin tenggelam dalam suasana kudus dan menyejukkan yang membuat
tubuhnya seakan-akan dipeluk seseorang, begitu hangat.
“Iyya kana’budu waiyya kanas ta’in.
Ikhdinassiratal mustaqim.”
Pria itu
mengarahkan hatinya bulat-bulat pada Tuhan. Tuhan semakin tersenyum dengan
lebar, menatap umat kecintaan-Nya semakin mencintai-Nya dan menyadari
keberadaan-Nya yang nyata.
“Aku percaya kepada Roh Kudus. Gereja
yang Kudus dan Am, persekutuan orang kudus. Pengampunan dosa. Kebangkitan
dangin. Dan hidup yang kekal, amin.”
Hatinya
bergetar, bibirnya berhenti berkata-kata, wanita itu merasakan kehadiran Tuhan
begitu dekat, wanita itu merasakan Tuhan sedang berada disampingnya, sedang
memeluknya.
“Siratallazi na an’am ta alaihim.
Ghairil maghdu bialaihim. Waladdolin, amin.”
Pria itu
menengadahkan kepalanya, hatinya bergetar dengan hebat, kembali dia rasakan
kehadiran Tuhan di dekatnya, begitu dekat.
Wanita itu
menduduki bangkunya, sambil kembali menatap liturgi ibadah, hatinya mendesah,
“Lindungi kekasihku yang sedang berada di masjid kali ini, Tuhan. Percayalah,
dia juga mencintaiMu, dia hanya menyebut namaMu dengan sebutan yang berbeda.”
Seusai itu, ia
mengucap surat Al-Ikhlas, pria itu menggetarkan hatinya, doa lirih terdengar
dari hatinya, “Tuhan, kekasihku sedang berada di gereja. Kau tahu? Dia pun juga
mencintaiMu, sama seperti aku, meskipun tempat ibadahnya berbeda dengan tempat
ibadahku.”
Sang wanita
melanjutkan ibadahnya, memuji Tuhan dengan hati tulusnya. Sang pria bersujud
dan menyembah, memuja Tuhan dengan hatinya yang seluas samudera. Dalam hati,
mereka mengamit resah, “Apa Tuhan melihat kisah kita?
-dwitasari-
-dwitasari-
*************
“Apakah seseorang
yang kau cintai harus memeluk agama yang sama denganmu?”
Aku dan kamu tak bisa apa-apa
saat semua orang menganggap kita salah. Terutama saat aku dan kamu dianggap
sebagai pelanggar norma agama.
Kau ingin tahu satu hal
tentangku? Aku sangat merindukan kamu. Aku rindu menghabiskan waktu bersamamu. Aku
ingin tawa renyahmu dan senyum manismu kembali menghiasi mozaik hari-hariku.
Dan.. entah mengapa kebahagiaan yang dulu kumiliki itu diusik oleh orang-orang
yang bahkan tak mengenal dan mengerti kondisi kita. Maukah kau katakan pada
mereka yang membenci kita? Bahwa
sebenarnya kita bukanlah seorang pendosa. Maukah kau yakinkan mereka? Bahwa aku
dan kamu tak sehina yang mereka pikirkan. Haruskah kita mengakhiri semua ketika
nyatanya bahagia selalu menghiasi kebersamaan kita? Haruskah kita menyerah pada
presepsi yang mengatakan bahwa kita bersalah? Haruskah kita berpisah karena
berbeda agama? Apa salahku dan salahmu?
Pada akhirnya kita harus
menyerah, menyerah pada takdir yang awalnya mempertemukan kita juga yang memisahkan
kita. Aku tak tahu mengapa norma agama harus membedakan kita, sehingga aku dan
kamu memiliki sekat dan jarak, membuat kita tak lagi sama, membuat kita
(terpaksa) berpisah. Sebenarnya apa salahku dan salahmu? Mengapa dimata semua
orang kita terlihat begitu bersalah?!
Sayang, sungguh aku tak ingin
terus tersiksa seperti ini, sungguh aku tak ingin perpisahan kita menjadi sebab
tangismu dan tangisku. Aku ingin semua kembali seperti dulu. Kebahagiaan kita
terenggut oleh sesuatu yang kita sebut norma, sesuatu yang seharusnya mengatur
tapi malah menyakiti kita. Sebenarnya, mereka yang menyalahkan kita adalah
mereka yang tak benar-benar mengenal kita. Bukankah kita hanya saling jatuh
cinta? Lalu salahkah cinta jika dia menyatukan kita yang berbeda?!
Mungkin aku salah, dan mereka
benar. Mungkin memang mencintaimu adalah kesalahan. Tapi ketahuilah,
mencintaimu merupakan kesalahan paling indah dalam hidupku.
*untuk sahabatku
yang sedang kebingungan :)
0 komentar:
Posting Komentar